Ikuti Kami

Hikmah Dekrit 5 Juli: Hentikan Konflik Politik Pasca Pilpres

Situasi perpolitikan RI sekarang nyaris serupa dengan yang terjadi pada masa sebelum dekrit.

Hikmah Dekrit 5 Juli: Hentikan Konflik Politik Pasca Pilpres
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah dalam Forum Grup Discussion yang diselenggarakan oleh Forum Musyawarah Kebangsaan di Gedung Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri di Jakarta, Rabu (10/7).

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sejatinya merupakan hikmah bagi elite politik di masa kini. 

Sebab, situasi perpolitikan Indonesia sekarang nyaris serupa dengan yang terjadi pada masa sebelum dekrit tersebut dikeluarkan. Saat itu, lanjut Basarah, perang ideologis juga mencuat melalui perdebatan berbagai partai politik (parpol) dalam Badan Konstituante.

Baca: Konstitusi RI Perlu Disempurnakan Sejak Dekrit Presiden 1959

"Karena pada saat itu partai-partai politik yang memiliki perwakilan di Badan Konstituante gagal melaksanakan tugasnya untuk menghadirkan UUD yang baru, menggantikan UU Sementara tahun 1950, oleh karena perang ideologi diantara mereka" kata Basarah dalam Forum Grup Discussion yang diselenggarakan oleh Forum Musyawarah Kebangsaan di Gedung Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri di Jakarta, Rabu (10/7).

Situasi itu membuat Bung Karno berkesimpulan Badan Konstituante gagal menjalankan amanahnya. Maka, Bung Karno pun mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Walhasil, semua perdebatan ideologi berakhir dan dekrit tersebut pada akhirnya disetujui sebagai landasan hukum tata negara.

Maka, dalam konteks saat ini, Basarah berharap para elite politik dan segenap masyarakat dapat mengambil hikmah dari Dekrit 5 Juli 1959. Apalagi, konflik yang nampak di era sekarang hanya sebatas perbedaan pilihan dalam pemilihan presiden (pilpres) untuk 5 tahun.

Bagi Basarah, seharusnya para elite politik dan masyarakat tidak berlebihan dalam mandang perbedaan tersebut. Khusus untuk para elite politik, seharusnya mereka dapat memberikan suri tauladan yang baik dengan cara mengingatkan masyarakat sehingga tidak memiliki lagi alasan untuk membuat blok politik karena alasan pilpres.

"Ini kan ada segregasi antara blok 01 dan 02. Lalu muncul antara blok pendukung kedua kubu. Meningkat lagi antara golongan nasionalis dan islam. Lalu ada lagi Pancasila versus khilafah. Nah, yang menjadi asbabul wurudnya kan ini blok politik atau pilpres. Nah, yang pilpresnya sendiri sudah mulai cair. Sudah mulai lobby-lobby untuk regrouping. Tapi yang terbelah di masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, masih membekas," kata Basarah. 

Baca: Maknai Rekonsiliasi Kotor, Rizal Ramli Menyedihkan

Basarah pun mengapresiasi para tokoh ulama dari berbagai organisasi seperti Mummadiyah dan NU yang terus menggaungkan agar kedua kubu dalam pilpres bertemu. Hal itu  juga terjadi sebelum Dekrit dikeluarkan oleh Bung Karno.

"Sejauh ini ulama-ulama Muhammadiyah, NU juga sudah mengimbau untuk bertemu. Saya kira imbauan itu sudah lebih dari cukup. Sekarang ini tinggal menunggu good will dari para elite bangsa untuk menyudahi konflik ini," ungkapnya.

Quote