Jakarta, Gesuri.id - Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana memaparkan sejumlah tantangan utama dalam ketenagakerjaan domestik.
Dimana, ada soal pengangguran dan mismatch pendidikan-industri; dominasi sektor informal dan lemahnya jaminan sosial serta belum adanya UU khusus pekerja domestik karena RUU Pekerja Rumah Tangga belum disahkan, akibatnya perlindungan melemah.
Tak hanya itu, dampak otomasi dan digitalisasi dunia kerja yang membuat kebutuhan tenaga kerja menjadi berkurang.
Hal itu disampaikan Eva Trisiana dalam workshop Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang digelar DPP PDI Perjuangan di Sekolah Partai Lenteng Agung, Kamis (9/10/2025).
“Layanan publik ketenagakerjaan dan mekanisme pengaduan belum optimal, sistem layanan belum terintegrasi untuk sektor informal,” ujarnya.
Tak sampai disitu, Eva juga mengungkapkan arah transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional.
Salah satunya, reformasi regulasi dan perlindungan pekerja domestik mulai dari penyusunan regulasi, perluasan jaminan sosial dan layanan publik ketenagakerjaan.
“Peningkatan kualitas, keterampilan, dan martabat pekerja domestik,” jelasnya.
Dalam menjawab tantangan pekerja domestik, Eva mengatakan strategi dan kolaborasi yang harus dilakukan baik pemerintah dan masyarakat diantaranya koordinasi lintas sektor dan pemerintahan daerah; partisipasi organisasi pekerja domestik dan LSM; integrasi data dan digitalisasi layanan dan tentunya peningkatan kapasitas fungsional pengantar kerja, pengawas dan mediator.
Maka dari itu, dalam menjawab permasalahan pekerja domestik diperlukan transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional adalah langkah menuju keadilan sosial.
“Kemnaker berkomitmen menyediakan pekerjaan layak, menjamin perlindungan sosial, dan meningkatkan martabat serta kesejahteraan tenaga kerja domestik,” kata Eva.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayat mengatakan bahwa
hak setiap orang dengan bebas dan tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan yang menghormati hak fundamental dan martabat sebagai manusia.
Serta, memberi pemasukan yang layak untuk diri dan keluarga, serta menjamin keamanan, kesehatan fisik dan mental, dan keselamatan.
“Termasuk di dalamnya hak kolektif untuk berserikat, berunding, dan mendorong perlindungan sosial,” jelas Anis.
Dalam paparannya, Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mercy Barends menbeberkan sejumlah rekomendasi yang bisa dilakukan PDIP dalam memberikan perlindungan kepada Pekerja Indonesia baik domestik maupun migran.
Dimana, dia menyebut PDIP perlu menegaskan posisi ideologisnya dan hadir sebagai partai pro-pekerja serta menyiapkan Sistem Manajemen Kasus Tenaga Kerja dan Perlindungan Migran Indonesia (TKP2MI) terpadu berbasis struktral partai dengan membentuk sayap partai.
“Melakukan penguatan kapasitas kader dan relawan partai sebagai pendamping dan paralegal TKP2MI serta melakukan fungsi integrasi secara secara kolaboratif lintas multi-pihak untuk fungsi advokasi, pendampingan dan pemulihan fisik, psikososial, hukum, pemberdayaan ekonomi dan administrasi secara holistik dan terpadu,” paparnya.
“Mendorong kampanye publik dan reformasi kebijakan yang pro pekerja,” sebut Mercy.
Oleh karena itu, dia menambahkan kerja sama multi pihak sangat diharapkan dalam perlindungan pekerja. Antara Pemerintah, dunia usaha, serikat buruh termasuk partai politik.
Turut hadir dalam acara ini, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang memberi sambutan serta anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.
Acara ini juga diikuti oleh kader PDI Perjuangan dari Sekolah Partai dan berbagai daerah melalui sambungan hybrid.