Jakarta, Gesuri.id - Dalam Peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang digelar DPP PDI Perjuangan di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (22/10), Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) sekaligus Sekjen Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah 2012–2016, Dr. Ulfa Mawardi, menegaskan bahwa semangat gotong royong dan nilai-nilai marhaenisme Bung Karno sangat sejalan dengan jiwa santri Indonesia.
Menurutnya, Bung Karno menemukan inspirasi perjuangan melalui rakyat kecil yang disebut “kaum marhaen”. Dari perjumpaan itu lahir gagasan tentang kemiskinan struktural yang bukan karena malas, melainkan akibat penindasan ekonomi kolonial dan ketimpangan sistem pasar.
“Marhaenisme adalah ideologi pembebasan. Ia menentang penindasan manusia atas manusia, melawan pemerasan dan kekerasan dalam bentuk apa pun,” jelasnya.
Ulfa menyebut bahwa Bung Karno memandang kemiskinan sering berwajah perempuan. Karena itu, perjuangan melawan ketidakadilan sosial juga berarti memperjuangkan harkat dan martabat perempuan Indonesia.
“Marhaenisme adalah jembatan menuju kemerdekaan sejati—membangun keberanian mengatasi kesenjangan ekonomi secara berkemajuan,” katanya.
Ia juga menyoroti pandangan Bung Karno yang populis dan terbuka. Dalam sejarah, Bung Karno dikenal sebagai tokoh yang bisa berteman dengan siapa pun—dari Kennedy di Amerika, pemimpin Uni Soviet, hingga para pemuka Islam di Timur Tengah.
“Bung Karno mengamalkan ajaran bahwa kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan saling menindas,” ujar Ulfa.
Lebih lanjut, Ulfa menyinggung pandangan progresif Bung Karno tentang perempuan. Ia mengisahkan bagaimana Bung Karno pernah menolak pembatasan ruang perempuan dalam forum-forum Islam yang memisahkan peserta laki-laki dan perempuan dengan tabir.
“Kalau saat itu Bung Karno tidak memprotes, mungkin sampai hari ini perempuan tidak bisa berbicara di depan laki-laki. Itu bentuk pembebasan yang berpihak pada kesetaraan,” tutur Ulfa.
Ia mengingatkan bahwa dalam buku Sarinah, Bung Karno menulis tentang pentingnya perempuan sebagai kekuatan bangsa. Bagi Bung Karno, kata Ulfa, laki-laki dan perempuan adalah dua sayap burung yang sama pentingnya. “Jika salah satu sayap patah, bangsa tidak akan bisa terbang tinggi,” ucapnya penuh semangat.
Bung Karno, lanjutnya, mengajarkan konsep kesalingan—bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh saling menindas, melainkan saling menghormati dan melengkapi.
“Itulah esensi gender menurut Bung Karno, yakni keseimbangan dan kesetaraan dalam relasi kemanusiaan,” tegas Ulfa.
Dengan semangat itu, ia menyerukan agar seluruh anak bangsa, termasuk para santri dan santriwati, terus memperjuangkan keadilan sosial, keberanian politik, dan kebijakan yang berpihak pada wong cilik.
“Marhaenisme dan Islam berpadu dalam semangat kemanusiaan universal. Keduanya menuntun kita untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan beradab,” tutupnya.