Madiun, Gesuri.id – Suasana Pasar Sleko, Kota Madiun, Minggu (21/9/2025) pagi terasa berbeda dari biasanya. Di tengah hiruk pikuk pedagang dan pembeli, terlihat pemandangan yang hangat: seorang legislator duduk lesehan bersama para tukang becak, bercengkerama sambil menikmati kopi dan sarapan sederhana.
Politisi senior PDI Perjuangan Kota Madiun, Sutardi, yang juga menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Madiun, memilih mengawali hari dengan cara tak biasa. Ia hadir di Pasar Sleko bukan untuk berpidato atau sekadar bersalaman, melainkan benar-benar duduk bersama sekitar 30-an pengayuh becak, mendengar langsung cerita keseharian mereka.
Wajah-wajah lelah yang biasanya ditemui di jalanan pagi itu berubah menjadi senyum hangat. Mereka berbagi kisah tentang penumpang yang makin berkurang, perubahan zaman, hingga pengalaman unik mengantar orang ke pasar. Obrolannya sederhana, namun suasananya guyub sejak awal.
“Becak itu bukan sekadar alat transportasi, tetapi simbol keteguhan dan perjuangan hidup. Mereka yang setiap hari mengayuh becak adalah pejuang yang pantang menyerah. Itulah yang membuat saya merasa dekat dengan mereka,” ungkap Sutardi.
Bagi Sutardi, politik bukan sekadar kursi kekuasaan. Duduk bersama rakyat kecil, menikmati kopi panas dan sarapan sederhana, baginya adalah wujud politik yang sejati—politik yang hadir, mendengar, dan menjaga hubungan emosional dengan rakyat.
Nilai kedekatan dengan wong cilik ini, katanya, merupakan warisan ajaran Bung Karno yang terus dihidupi PDI Perjuangan hingga sekarang.
“Ngopi bareng, sarapan bareng, ngobrol ngalor-ngidul tanpa sekat. Dari situlah kita bisa saling memahami. Hal kecil ini mengingatkan kita bahwa politik hadir untuk menguatkan kebersamaan,” tambahnya.
Kehangatan pertemuan itu juga dirasakan para tukang becak. Mbah Podo, yang sudah puluhan tahun mangkal di sekitar Pasar Sleko, mengaku terharu.
“Rasane seneng, Pak. Jarang-jarang ono pejabat sing gelem lungguh bareng, mangan bareng karo ngombe kopi bareng karo kito-kito. Nggih mboten wonten sekat. Niku sing nggawe kulo rumongso dihargai (Rasanya senang sekali. Jarang-jarang ada pejabat yang mau duduk bersama, makan bareng, minum kopi bareng dengan kita. Tidak ada jarak. Itu yang membuat saya merasa dihargai),” ujarnya dengan wajah sumringah.
Ungkapan itu menjadi bukti bahwa kebersamaan sederhana dapat menghadirkan makna besar. Rakyat merasa dekat, didengar, dan diperhatikan. Semangat gotong royong yang menjadi napas PDI Perjuangan pun terasa nyata dalam momen tersebut—bukan hanya slogan, tetapi sikap hidup sehari-hari yang menjadi kekuatan bangsa.
Acara sederhana di Pasar Sleko ini sekaligus menegaskan komitmen PDI Perjuangan untuk tetap konsisten menjadi partai wong cilik. Partai yang tidak hanya bicara di podium, tetapi juga turun ke bawah, hadir di tengah rakyat, menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari meja sarapan sederhana ini, lahirlah makna besar tentang persatuan, gotong royong, dan perjuangan bersama rakyat. Politik yang membumi, hangat, dan penuh keakraban.