Jakarta, Gesuri.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji selesai disusun Komisi VIII DPR sebagai pengusul. Penyusunan RUU dilakukan panitia kerja (Panja) yang dibentuk Komisi VIII. Berbagai rapat telah digelar untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak.
Seperti Kementerian Agama, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Penyedia Layanan Perjalanan Ibadah Haji, pakar dan akademisi.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Abidin Fikri menjelaskan sedikitnya ada 3 urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Baca: Ganjar Pranowo Tekankan Pentingnya Kritik
Pertama, BPKH belum optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya mengelola keuangan haji. Khususnya dalam mengoptimalkan nilai manfaat.
“Termasuk mekanisme distribusi nilai manfaat bagi para jemaah yang dianggap tidak memenuhi unsur keadilan dan proporsionalitas,” katanya dalam rapat pleno pengharmonisasian tentang konsepsi pengelolaan keuangan haji atas usulan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Pengelolaan Keuangan Haji di ruang rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (6/11).
Kedua, beberapa materi dalam UU 34/2014 perlu disinkronisasi dengan UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Ketiga, adanya dinamika dan perubahan paradigma sistem penyelenggaraan ibadah haji di kerajaan Arab Saudi yang perlu diselaraskan terutama dalam konteks pembiayaan penyelenggaran ibadah haji.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Abidin menjelaskan penyusunan RUU melahirkan 33 Pasal yang berubah, 6 Pasal tambahan baru, dan 27 Pasal. Tercatat ada 8 isu krusial dalam RUU. Pertama, adanya norma baru mengenai setoran angsuran biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayar jemaah (BIPIH) untuk meningkatkan dana kelolaan BPKH (Pasal 6).
Kedua, distribusi nilai manfaat harus lebih proporsional dan berkeadilan, yaitu sesuai dengan masa tunggu para calon jemaah (Pasal 16). Ketiga, kedudukan dan kewenangan BPKH (Pasal 20) termasuk keterlibatan BPKH dalam pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebagaimana Pasal 24.
Keempat, komposisi dan jumlah keanggotaan Badan Pelaksana (Pasal 29) serta Dewan Pengawas (Pasal 31) BPKH termasuk mekanisme pemilihannya (Pasal 38). Panja usul minimal 5 maksimal 7 karena biaya organisasi pengelola dan dewan pengawas untuk efisiensi. Abidin memberi contoh tahun 2026 manfaat pengelolaan keuangan haji (RKT) sebesar Rp14 triliun dengan biaya manajemen Rp480 miliar.
Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri
“Tentu setiap kuartal kami di Komisi VIII akan memeriksa, jika tidak sebanding dengan manfaaat yang diperoleh BPKH maka ada rasio dikurangi. Saat ini pengelolaan keuangan haji berjumlah Rp173 triliun dari uang jemaah yang sekarang dikelola BPKH,” bebernya.
Kelima, proposal investasi langsung yang harus lebih besar dibandingkan proporsi pada penempatan dan investasi keuangan lainnya (Pasal 48 ayat 3) yang didukung dengan adanya aturan tentang cadangan modal (Pasal 48 ayat 4) dan (Pasal 17A). Keenam, keuangan haji dapat ditempatkan pada bank yang sehat dan menjalankan prinsip syariah (Pasal 46 ayat 1a).
Ketujuh, penyediaan valutas asing untuk 1 kali kebutuhan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Pasal 46 ayat (1b) huruf b) serta Pasal 47 ayat (2). Kedelapan, mengenai pembentukan anak usaha BPKH Pasal 48B serta DPR dapat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja anak usaha BPKH Pasal 48B ayat 3.
















































































