Palembang, Gesuri.id - Anggota DPRD Kota Palembang Andreas Okdi Priantoro, meminta Pemkot segera menghentikan sementara seluruh aktivitas pembangunan di kawasan Simpang Empat Lampu Merah Jalan Veteran atau tepatnya di Sempadan Sungai Bendung Palembang.
Andreas menilai proyek tersebut berpotensi melanggar aturan tata ruang dan lingkungan, karena sebagian pembangunan disebut memasuki sempadan sungai dan sempadan jalan, serta terjadi alih fungsi lahan yang sebelumnya merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi milik perorangan berinisial BR.
“Fakta di lapangan menunjukkan pelanggaran nyata terhadap aturan tata ruang dan lingkungan. Pemerintah tidak boleh menutup mata. Kami minta proyek ini dihentikan sampai seluruh izin dan dokumen lingkungan diaudit ulang,” tegas Andreas dalam keterangannya, Minggu (12/10).
Baca: Ganjar Tegaskan Pemuda Harus Benar-benar Siap Hadapi
Dari hasil temuan di lapangan, Andreas mengungkapkan dari 14 izin yang di ajukan ada 3 unit pondasi siap bangun tanpa izin.
"Temuan itu, memperkuat dugaan adanya ada unsur kesengajaan dalam proses pembangunan,"katanya
Atas dasar fakta tersebut, Andreas menilai, penerbitan izin di kawasan yang berdekatan dengan badan sungai tanpa analisis dampak lingkungan yang transparan merupakan bentuk kelalaian administratif sekaligus pelanggaran prinsip kehati-hatian.
“Ini bukan sekadar soal status RTH atau bukan. Kalau izin diterbitkan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan sistem air kota, itu sudah bentuk pelanggaran tata ruang. Pemkot harus berani mengoreksi kebijakan sendiri,” ujarnya.
Politikus muda PDI Perjuangan itu menegaskan, pemerintah tidak boleh hanya berpatokan pada legalitas formal tanpa memperhatikan dampak ekologis.
Dia mengingatkan, Sungai Bendung merupakan bagian dari sistem air utama yang mengalir menuju kawasan Bendung dan Musi, yang berperan penting dalam pengendalian banjir kota.
“Setiap meter lahan di tepi sungai punya fungsi ekologis. Begitu sempadan sungai diambil alih untuk bangunan komersial, keseimbangan sistem air terganggu. Dampaknya bisa langsung dirasakan warga,” katanya.
Peringatkan Potensi Banjir dan Kemacetan
Andreas juga menyoroti ancaman kemacetan jangka panjang akibat pembangunan ruko di kawasa tersebut serta potensi terganggunya proyek nasional penataan sungai dan pengendalian banjir di Palembang.
"Kawasan ini bagian dari sistem air kota. Setiap perubahan fisik di tepi sungai akan berdampak langsung terhadap daya tampung air dan risiko banjir,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa prinsip Zero Delta Q, yakni kewajiban pengembang menampung air hujan di lokasi sebelum dialirkan ke sungai, wajib diawasi ketat.
“Kalau air hujan langsung dibuang ke sungai tanpa penyerapan, genangan dan banjir akan meningkat. Ini persoalan serius, bukan sekadar teknis,” ujar Andreas.
Andreas menilai, peran pengawasan pemerintah kota lemah dan terkesan hanya mengandalkan dokumen administratif tanpa verifikasi lapangan.
“Kita butuh pemerintah yang berani turun langsung, bukan hanya membaca gambar perencanaan di kantor. Fakta di lapangan jelas: ada pelanggaran. Jangan biarkan aturan hanya jadi formalitas,” katanya dengan nada tegasnya.
Alih Fungsi Lahan RTH menjadi Perseorangan Status Tanah
Temuan lainnya, kata Andreas adanya alih fungsi lahan yang sebelumnya merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi milik perorangan berinisial BR. Hal ini diduga kuat berpotensi melanggar regulasi yang ada.
"Secara hukum, tanah bantaran sungai dikuasai negara dan tidak boleh dimiliki perseorangan. Hal itu diatur dalam UU 17/2019 tentang SDA dan PP 38/2011 tentang sungai,"tegasnya.
Lebih lanjut, pada Permen PUPR Nomor 28/PRT/M/2015, jarak minimal sempadan sungai di kawasan perkotaan ditetapkan, yakni 10 meter dari tepi sungai tanpa tanggul, dan 5 meter dari kaki tanggul untuk sungai bertanggul.
Baca: Ganjar Nilai Ada Upaya Presiden Prabowo Rangkul PDI Perjuangan
Bangunan di dalam sempadan sungai dapat dikenai sanksi pembongkaran dan pidana jika terbukti melanggar.
“Ketentuannya jelas, membangun di bantaran sungai itu dilarang. Bangunan yang sudah terlanjur pun seharusnya ditertibkan,”tambah Andreas.
Lebih jelas, Andreas menyebutkan bahwa pada Pasal 17 ayat (1) PP 38/2011 menyebutkan bahwa bangunan dalam sempadan sungai dinyatakan status quo dan wajib ditertibkan secara bertahap. Ketentuan ini berlaku secara nasional dan bertujuan menjaga fungsi sungai sebagai jalur air dan perlindungan lingkungan.
"Selain aspek hukum, pelanggaran di bantaran sungai juga berpotensi memicu konflik sosial dan penggusuran warga sekitar,"ungkapnya
Karena itu, Andreas menilai, penegakan hukum tata ruang harus dilakukan secara tegas dan terbuka.
“Ini bukan semata masalah izin, tapi menyangkut masa depan lingkungan dan keselamatan warga Palembang,”tegas Andreas