Ikuti Kami

Aria Bima Jelaskan Isu Krusial yang Harus Dibahas Dalam Penyusunan RUU Kepemiluan

Beberapa ketentuan yang muncul akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya perlu mendapatkan kejelasan.

Aria Bima Jelaskan Isu Krusial yang Harus Dibahas Dalam Penyusunan RUU Kepemiluan
Wakil Ketua Komisi lI DPR RI, Aria Bima.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi lI DPR RI, Aria Bima, menegaskan terdapat sejumlah isu krusial yang harus dibahas secara serius dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepemiluan ke depan. 

Ia menilai, beberapa ketentuan yang muncul akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya perlu mendapatkan kejelasan agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

“Kawan-kawan, dalam menyusun RUU kepemiluan ke depan, ada beberapa isu krusial yang harus kita hadapi bersama,” kata Aria Bima, dikutip Selasa (2/12/2025).

Ia kemudian menyoroti salah satu isu paling penting, yakni syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, khususnya terkait batas usia minimal calon.

“Yang pertama adalah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya syarat minimal usia 40 tahun, sebagaimana tercantum dalam pasal 169 huruf K, melalui keputusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-21/2023, Mahkamah Konstitusi menambahkan jalan alternatif,” jelasnya.

Aria Bima mengingatkan bahwa putusan tersebut memberi peluang bagi calon yang belum berusia 40 tahun untuk tetap maju dalam kontestasi Pilpres apabila memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

“Seorang yang belum berusia 40 tahun tetap dapat maju sebagai capres atau cawapres, apabila pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa pengalaman memimpin daerah dianggap setara dengan kedewasaan usia 40 tahun,” ujarnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa situasi tersebut memunculkan pekerjaan rumah konstitusional yang tidak boleh dibiarkan menggantung.

“Di sinilah muncul pekerjaan konstitusional yang perlu ditempatkan secara jernih. Apakah ketentuan ini akan dipertahankan sebagaimana keluar dari putusan atau perlu diperjelas kembali,” ungkapnya.

Menurutnya, penting bagi pembentuk undang-undang untuk memperjelas norma ini agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara legislatif dan MK.

“Sebagai norma baru oleh pembentuk undang-undang, sebab penentu syarat calon berada dalam ruang open legal policy, pembentuk undang-undang,” ujarnya.

Aria Bima juga menegaskan bahwa MK memiliki kewenangan menguji undang-undang, bukan membentuk norma baru tanpa penguatan legislasi.

“Sementara Mahkamah Konstitusi bertugas menguji, bukan membentuk norma baru jika tidak ditegaskan kembali di tingkat legislasi,” tegasnya.

Ia memperingatkan bahwa ketidakpastian norma seperti ini dapat memicu kerumitan hukum dalam penyelenggaraan pemilu mendatang.

“Ketidakpastian ini dapat menimbulkan komplikasi hukum yang berlalu,” pungkasnya.

Quote