Ikuti Kami

Basarah Usulkan Utusan Golongan & Daerah Jadi Bagian MPR

Alasannya, MPR seharusnya bersifat terbuka, mengayomi & diisi oleh elemen masyarakat yang jadi miniatur wajah multikulturalisme Indonesia.

Basarah Usulkan Utusan Golongan & Daerah Jadi Bagian MPR
Ketua Dewan Pakar Nasional PA GMNI Ahmad Basarah.

Jakarta, Gesuri.id - Ketua Dewan Pakar Nasional PA GMNI Ahmad Basarah mengusulkan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dikembalikan sebagai bagian dari keanggotaan MPR RI. 

Alasannya, MPR seharusnya bersifat terbuka, mengayomi, dan diisi oleh elemen masyarakat yang jadi miniatur wajah multikulturalisme Indonesia.

Basarah mengatakan sejak amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dilakukan di era awal reformasi, keanggotaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapuskan dari MPR RI.

"Tapi, saat itu gagasan penghapusan Utusan Golongan tidak sepenuhnya didasari argumentasi yang jelas, bahkan cenderung kabur. Kehadiran lembaga yang mewakili daerah seperti DPD juga belum bisa memenuhi keterwakilan golongan masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi sistem politik Pemilu," kata Basarah dalam keterangannya, Jumat (16/9).

Baca: Basarah Tekankan Penanganan Stunting Perlu Peran Bersama

Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini menuturkan organisasi masyarakat sebesar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah atau organisasi keagamaan lainnya, seperti Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Walubi, dan Kelompok Masyarakat Adat serta TNI/Polri tidak terwakili lagi di MPR.

Dalam sejumlah dialog baik formal maupun informal yang dilakukan oleh Badan Kajian MPR terungkap usul agar keanggotaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dikembalikan ke MPR RI dengan alasan sistem politik yang ada sekarang belum mewakili keberadaan mereka.

Basrah juga mengatakan keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah menjadi sangat penting untuk merawat memori kolektif bangsa terkait peran dari golongan masyarakat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. 

Dia menilai peran dan kontribusi golongan-golongan masyarakat itu sangat terasa dalam proses kemerdekaan Indonesia.

''Di awal gerakan kemerdekaan sampai bangsa Indonesia merdeka sekarang, bangsa dan negara ini tidak dapat dilepaskan dari peran golongan masyarakat yang saat itu berkumpul dan bersepakat untuk mendirikan bangsa Indonesia. Memori bangsa tentang sejarah yang fundamental ini harus kita rawat, jangan sampai bangsa ini melupakan sejarah negeri mereka sendiri,'' tutur Basarah.

Dia menambahkan, di awal kemerdekaan, keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan ini hampir selalu diakomodasi oleh Bung Karno sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia, demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Usai mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 pada 22 Juli 1959, yang antara lain membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang keanggotaannya terdiri atas DPR Gotong Royong ditambah Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Baca: PDI Perjuangan Tegaskan Tak Mau Terburu-buru Hadapi Pilpres

Menurutnya, keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah memang dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru, namun di dalamnya dimasukkan kepentingan politik rezim saat itu.

Pasca reformasi, keberadaan kedua golongan itu ditiadakan sama sekali seperti tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

"Saya sadar, ide memasukkan kembali Utusan Golongan dan Utusan Daerah ini mungkin akan memunculkan perdebatan terkait bagaimana perubahan ketatanegaraan, atau apa beda antara DPD dan utusan daerah, kemudian siapa yang pantas masuk dalam kriteria Utusan Golongan," ujar Basarah.

"Tapi, demi menjaga multikulturalisme Indonesia, di situlah pentingnya ide ini saya sampaikan agar muncul diskusi-diskusi kebangsaan yang menarik, yang memunculkan kajian akademis yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan,'' lanjutnya.

Quote