Jakarta, Gesuri.id - Rencana pemerintah menarik dana di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp200 triliun dikhawatirkan bisa menimbulkan berbagai resiko perekonomian yang cukup serius di kemudian hari nantinya. Diketahui, pemerintah akan menarik dana Rp 200 triliun dari BI untuk kemudian disalurkan ke bank-bank Himbara (Mandiri, BRI, BNI, BTN) guna kepentingan menumbuhkan kredit dan meningkatkan likuiditas.
"Memang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Namun, langkah ini punya sejumlah efek negatif atau risiko yang perlu dicermati," kata Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto kepada wartawan, Kamis (11/9).
Adapun lanjut Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Industri, Perdagangan, BUMN, dan Investasi ini, potensi atau kemungkinan resiko yang bakal timbul di kemudian hari dibalik langkah tersebut di antaranya yaitu soal stabilitas moneter.
"Jika ini (stabilitas moneter terguncang), maka inflasi berpotensi besar terjadi. Dana Rp 200 triliun yang berpindah ke bank Himbara akan memperbesar likuiditas di pasar. Meski likuiditas besar, tapi jika tidak diserap ke kredit produktif dengan cepat, efeknya bisa menekan nilai rupiah dan memicu inflasi," tutur Anggota Komisi VI DPR RI itu.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Selain itu, Darmadi juga mengaku khawatir penarikan dana tersebut bisa mengurangi “sterilisasi” BI dalam menjaga stabilitas keuangan, misalnya menjaga stabilitas rupiah di pasar.
"Saldo pemerintah di BI selama ini membantu BI mengontrol jumlah uang beredar. Penarikan besar-besaran justru dikhawatirkan akan mempersempit ruang gerak BI dalam menjaga stabilitas moneter," ungkapnya.
Selain resiko stabilitas moneter sebagaimana dijabarkan di atas, Darmadi juga mengatakan, dibalik penarikan dana tersebut juga dikhawatirkan berisiko terhadap perbankan itu sendiri.
Ia mengaku khawatir bank-bank yang menerima dana tersebut (Rp 200 triliun) dalam tataran praksisnya tidak mengindahkan aspek kehati-hatian dalam menyalurkan kredit karena basis pijakan mereka adalah kuantitas bukan kualitas.
"Saya khawatirnya mereka (Himbara) mengimplementasikan kebijakan tersebut tidak dibarengi kajian yang matang. Ibaratnya kredit asal tersalur. Memang dengan adanya kebijakan itu, Bank Himbara bisa terdorong menyalurkan kredit secara cepat agar dana tidak menganggur, tetapi berisiko menurunkan kualitas kredit (NPL naik).
Tak hanya itu, lanjut dia, dikhawatirkan kebijakan tersebut juga hanya akan menciptakan gap di ekosistem perbankan secara keseluruhan nantinya.
"Kesenjangan dengan Bank Non-Himbara, Bank swasta dan daerah bisa kalah saing karena Himbara mendapat dana murah tambahan, menciptakan distorsi kompetisi," urainya.
Adapun resiko lainnya, lanjut dia, kebijakan tersebut juga bisa berisiko terhadap fiskal dan tata kelola di industri perbankan itu sendiri. Kebijakan itu juga, kata dia, seolah mencerminkan adanya penurunan disiplin anggaran.
Menurut hemat Darmadi, dana pemerintah seharusnya dipakai untuk belanja (infrastruktur, subsidi, dll.),
"Bukan sekadar “parkir” di bank. Penempatan Rp 200 T ke Himbara bisa memberi kesan realisasi belanja yang lambat," tandasnya.
Adapun kekhawatiran lainnya, kata dia, gerak dan inisiatif bank Himbara akan stuck karena mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari pemerintah.
"Kondisi itu juga bisa menumbuhkan moral hazard (manajemen atau tata kelola yang buruk). Himbara hanya bisa mengandalkan “dana titipan pemerintah” ketimbang mencari sumber dana pasar, yang dalam jangka panjang menurunkan efisiensi," tegasnya.
Menurutnya, kebijakan itu juga bisa berisiko terhadap pasar keuangan.
Menurutnya lagi, pasar keuangan akan berubah seiring adanya kebijakan tersebut artinya atau dipastikan akan terjadi perubahan arus dana.
"Jika sebelumnya Rp 200 T tersimpan di BI (sebagai simpanan steril), maka pemindahan ke bank bisa mengurangi kebutuhan bank meminjam di pasar uang antarbank. Hal ini dapat menekan suku bunga jangka pendek secara tidak alami," jelasnya.
Tak hanya itu, kata dia, volatilitas Rupiah juga bisa terguncang bilamana investor meragukan efektivitas skema kebijakan tersebut (salurkan bantuan Rp 200 triliun untuk Himbara).
"Aliran dana besar yang masuk ke sistem perbankan bisa meningkatkan spekulasi atau capital outflow jika persepsi investor asing berubah terhadap stabilitas likuiditas," ujarnya.
Jika berkaca pada data yang ada, Darmadi meragukan kebijakan tersebut bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025 menunjukkan bahwa kondisi atau status penyaluran kredit di bank Himbara justru tengah dalam fase yang penuh ketidakpastian. Berdasarkan data, ada sekitar Rp470,39 triliun kurang lebih dana yang dikhususkan untuk penyaluran kredit di bank Himbara statusnya dalam kondisi Undisbursement loan (sebuah status di mana dana kredit masih tertahan karena beberapa faktor) atau mengalami kenaikan 15,64% year on year (yoy). Undisbursement loan perbankan tinggi sekali dan gak efektif," ungkapnya.
Darmadi kembali mengingatkan agar pemerintah melakukan kajian secara komprehensif sebelum mengeksekusi kebijakan tersebut.
"Semangat boleh, tapi indikatornya harus jelas dan menghitung dampaknya juga harus holistik. Jangan sampai semangat tersebut (upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit berubah jadi bencana krisis moneter dan lainnya)," tegasnya.
Darmadi kembali mengungkapkan, penyebab undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tapi belum dicairkan) tinggi di perbankan, termasuk Himbara, umumnya karena kombinasi faktor dari sisi debitur dan ekonomi makro.
Diungkapkannya, ada beberapa faktor yang menyebabkan status undisbursed loan di perbankan cukup tinggi.
"Faktor pertama, dari sisi debitur misalnya, dalam praktiknya banyak debitur yang belum mengeksekusi berbagai proyeknya. Banyak debitur (korporasi maupun pemerintah daerah) mengajukan kredit untuk investasi, tetapi realisasi proyek tertunda (misalnya akibat perizinan, tender lambat, atau pelemahan permintaan)" bebernya.
Selain itu, kata dia, kesiapan eksekusi juga rendah karena berbagai kondisi terutama kondisi pasar.
"Walaupun pinjaman sudah disetujui, debitur sering menunggu kepastian pasar, harga bahan baku, atau kepastian kontrak sebelum mencairkan dana. Kondisi pasar yang tidak pasti jelas akan membuat perusahaan lebih berhati-hati menarik dana di tengah suku bunga tinggi atau volatilitas nilai tukar," jelasnya.
Faktor lainnya, kata dia, yaitu kondisi ekonomi dan makro yang juga turut menyebabkan tingginya undisbursed loan di perbankan.
Baca: Ganjar Nilai Ada Upaya Presiden Prabowo Rangkul PDI Perjuangan
"Saat ekonomi lesu, perusahaan menahan ekspansi, sehingga dana kredit yang sudah tersedia tidak segera digunakan. Apalagi ketika tingkat suku bunga tinggi tentu akan berpengaruh terhadap kredit. Kenaikan suku bunga acuan BI (BI-Rate/BI-7DRR) membuat biaya kredit mahal, sehingga debitur menunda pencairan. Ditambah dengan ketidakpastian global. Misalnya perlambatan ekonomi Tiongkok, tarif dagang AS, atau fluktuasi harga komoditas—semua membuat dunia usaha menunda investasi," paparnya.
Faktor selanjutnya, kata dia, yaitu lambatnya pengucuran dana belanja pemerintah. Ditambah lagi dengan berbagai macam regulasi yang pada kenyataannya banyak yang overlaving (tumpang tindih).
"Belanja Pemerintah Lambat. Banyak proyek infrastruktur dan belanja daerah mengalami keterlambatan, sehingga kredit sindikasi atau channeling melalui Himbara ikut tertahan. Bahkan, dana KUR atau program kredit pemerintah sudah dialokasikan, tetapi serapannya rendah karena birokrasi, verifikasi lama, atau UMKM belum siap," urainya.
Terakhir, kata dia, status undisbursed loan tinggi karena berbagai macam persyaratan yang diterapkan perbankan kurang begitu flexible.
"Persyaratan Pencairan Ketat. Bank hanya mencairkan kredit bertahap sesuai progres proyek. Hal ini bisa membuat “plafon approved” besar, tetapi realisasi rendah. Untuk menjaga kualitas aset, bank lebih hati-hati mencairkan dana, terutama ke sektor yang dianggap berisiko. Kondisi semacam inilah yang turut berkontribusi terhadap tingginya angka undisbursed loan. Jadi, saya kira pemerintah harus melakukan kajian lebih mendalam lagi sebelum mengeksekusi kebijakan tersebut (kucuran dana Rp200 triliun untuk Himbara). Sekali lagi karena berbagai faktor tadi termasuk adanya undisbursed loan yang bisa dibilang cukup mencemaskan, pertumbuhan ekonomi rasanya mustahil bisa terdongkrak," pungkasnya.