Ikuti Kami

Deddy Sitorus: Pengambilalihan Tanah Nganggur Oleh Negara, Kebijakan yang Ngawur!

Deddy: Menurut saya itu kebijakan aneh dan tak punya dasar hukum.

Deddy Sitorus: Pengambilalihan Tanah Nganggur Oleh Negara, Kebijakan yang Ngawur!
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Deddy Sitorus.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Deddy Sitorus, menilai pengambilalihan tanah nganggur oleh negara, apabila tidak dimanfaatkan selama dua tahun atau lebih, adalah kebijakan yang ngawur

"Menurut saya itu kebijakan aneh dan tak punya dasar hukum. Kebijakan itu mungkin bisa berlaku untuk tanah-tanah yang dimaksudkan untuk menggerakkan ekonomi seperti konsesi HGU (Hak Guna Usaha), HTI (Hutan Tanaman Industri), tambang dan kegiatan ekonomi skala besar lainnya," tutur Deddy di Jakarta, dikutip Senin (21/7/2025).

Deddy mengatakan, bisa jadi seseorang membeli tanah untuk investasi jangka panjang. Atau bisa juga lahan dibeli untuk dibangun rumah, ketika sudah ada uangnya.

"Kalau orang beli tanah untuk rumah lalu tidak punya uang untuk bangun, apa iya mau ditarik negara? Apa negara mau kasih duit buat bangun? Atau tanah yang dimaksudkan untuk aset atau simpanan, kan enggak mungkin dipaksa untuk dibangun," ucap Deddy.

Ia menyebut, seharusnya pemerintah menjalankan kebijakan pembatasan kepemilikan tanah, baik milik pribadi maupun korporasi, bukan merebut yang sudah ada. Apalagi yang disikat adalah milik perseorangan.

"Yang harus dilakukan itu adalah pembatasan (tanah atas) kepemilikan pribadi dan korporasi, dengan tujuan distribusi keadilan dan kesejahteraan," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan sekitar separuh lahan bersertifikat di Indonesia terindikasi dalam kondisi tidak termanfaatkan atau terlantar.

Secara lebih rinci, dari total 55,9 juta hektare tanah yang telah bersertifikat, terdapat sekitar 1,4 juta hektare yang belum terpetakan atau belum digunakan secara produktif.

"Dari 55 juta hektare, ada 1,4 juta hektare. Ini belum masuk data baru. Data baru apa? Data baru kami adalah potensi Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah habis dan tidak diperpanjang," kata Nusron di Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu (13/7/2025).

Penemuan tersebut merupakan bagian dari evaluasi reforma agraria nasional yang menyoroti keberadaan lahan bersertifikat namun belum digunakan sesuai tujuan awalnya.

Karena itu, Nusron menilai lahan-lahan yang tidak termanfaatkan ini berpotensi dijadikan sebagai objek reforma agraria, terutama untuk kepentingan pesantren, koperasi berbasis umat, serta organisasi keagamaan seperti alumni PMII, NU, dan Muhammadiyah.

Meski demikian, ia menekankan pemanfaatan tanah tetap harus disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah (RT/RW) dan diprioritaskan untuk masyarakat lokal.

"Kalau untuk bangun pesantren, cari lahan yang zonasinya pemukiman atau industri. Kalau zonasinya pertanian atau perkebunan, bisa dimanfaatkan secara ekonomi lewat koperasi pesantren," ujarnya.

Langkah ini dapat pembelaan dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi. Dia bilang, tidak ada yang salah dengan rencana tersebut. Sebab, lahan yang tidak dikelola akan memunculkan konflik agraria.

“Jadi semangat pemerintah yang pertama, semangat pemerintah adalah supaya tidak ada lahan-lahan yang terlantar. Lahan-lahan terlantar ini juga bisa juga menimbulkan konflik agraria karena dibiarkan sekian lama, ada orang yang menduduki, kemudian terjadi konflik agraria,” kata Hasan di Jakarta, dikutip Kamis (17/7/2025).

Hasan menjelaskan kebijakan penyerahan lahan ke ormas ini tidak hanya bertujuan untuk mengambil hak masyarakat. Pemerintah pun memberikan kesempatan waktu tunggu sebelum lahan tersebut diambil alih.

“Tapi pemerintah tidak akan serta-merta melakukan seperti itu karena ada masa tunggunya, sekian tahun, ada peringatannya, tiga kali peringatan supaya lahan itu tidak ditelantarkan,” ujarnya.

Dia menyebut kebijakan ini juga bukan hal yang baru karena telah memiliki dasar hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam aturan tersebut dijelaskan tanah akan diambil alih jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sejak dua tahun diterbitkannya hak.

“Jadi kalau ada kapital-kapital besar yang memiliki lahan atau mengelola lahan di luar kewenangannya. Misalnya dia dapat hak untuk mengelola 100 ribu hektare tapi dia mengelola 150 ribu hektare, dan sisanya itu tentu akan harus dikembalikan kepada negara. Ini untuk keadilan. Jadi semangat pemerintah untuk keadilan,” katanya.

Quote