Klaten, Gesuri.id - Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Komisi B dari Fraksi PDI Perjuangan Kadarwati menegaskan, upaya merawat bumi harus dilakukan secara nyata dan berkelanjutan, bukan sekadar jargon atau kegiatan seremonial, saat menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) bertema “Gerakan Merawat Bumi di Musim Hujan” di Aula Balai Desa Pundungsari, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Kamis (25/12/2025).
“Banjir, longsor, atau merebaknya penyakit sering kali bukan semata-mata karena faktor alam. Banyak di antaranya berawal dari kebiasaan manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan,” tuturnya dengan nada reflektif.
Dalam suasana diskusi yang berlangsung hangat dan partisipatif, Kadarwati mengajak masyarakat memandang alam sebagai satu kesatuan yang saling terhubung. Ia menjelaskan bahwa keseimbangan empat unsur utama, yakni bumi, air, angin, dan api, harus dijaga bersama agar kehidupan tetap aman dan berkelanjutan.
Ia mencontohkan kebiasaan sederhana yang kerap dianggap sepele namun berdampak besar terhadap lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa perhitungan, serta membiarkan tanah menjadi gersang. Menurutnya, kebiasaan tersebut mengurangi daya serap tanah terhadap air hujan dan memicu terjadinya bencana.
Sebagai langkah pencegahan, Kadarwati menekankan pentingnya penanaman pohon yang tepat sesuai dengan karakteristik lahan. Pohon dengan akar serabut maupun akar tunggang dinilai mampu membantu menyerap air dan menahan erosi, terutama di wilayah rawan banjir dan longsor. Di bantaran sungai, ia menyebut bambu sebagai tanaman yang sangat efektif.
“Bambu itu kuat sekaligus lentur. Saat diterpa angin kencang, ia tidak mudah patah dan tetap menjaga tanah di sekitarnya. Dari alam, kita belajar tentang ketahanan,” ujarnya, mengaitkan aspek ekologis dengan nilai kehidupan.
Selain itu, ia juga mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap pengelolaan sampah rumah tangga. Sampah yang tidak dikelola dengan baik tidak hanya menyumbat saluran air, tetapi juga berpotensi menjadi sumber penyakit dan menurunkan kualitas hidup.
“Semua bisa dimulai dari rumah. Memilah sampah organik dan anorganik adalah langkah kecil, tapi dampaknya besar jika dilakukan bersama-sama,” jelasnya.
Kadarwati turut menyinggung persoalan lahan kritis yang hingga kini masih menjadi tantangan serius di Jawa Tengah. Ia mengingatkan bahwa di sejumlah daerah, kerusakan lahan yang dibiarkan berlarut-larut dapat berujung pada bencana lingkungan yang merugikan masyarakat.
Karena itu, ia menilai penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Kelola Rehabilitasi Lahan Kritis dan Reklamasi Hutan Daerah sebagai langkah yang sangat mendesak untuk segera direalisasikan.
“Lahan yang rusak ibarat tubuh yang terluka. Dengan penanganan yang tepat, ia bisa pulih, kembali produktif, dan memberi manfaat bagi banyak orang,” ungkapnya.
Berdasarkan data tahun 2025, Jawa Tengah masih memiliki sekitar 317.629 hektare lahan kritis, meskipun jumlah tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan periode 2022–2024 berkat program Perhutanan Sosial yang dijalankan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jawa Tengah. Di Kabupaten Klaten tercatat sekitar 215 hektare lahan kritis, sementara Kabupaten Karanganyar mencapai lebih dari 2.000 hektare.
“Merawat bumi berarti merawat masa depan anak cucu kita. Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan seperti apa kehidupan esok,” pungkasnya.

















































































