Ikuti Kami

Masady Manggeng: Kekecewaan Ketua DPRA Atas Kondisi Aceh Itu Wajar

Aceh memiliki kekayaan alam melimpah, mulai dari tambang hingga migas, tapi rakyat belum menikmati hasilnya.

Masady Manggeng: Kekecewaan Ketua DPRA Atas Kondisi Aceh Itu Wajar
Politisi PDI Perjuangan, Masady Manggeng.

Jakarta, Gesuri.id - Politisi PDI Perjuangan, Masady Manggeng, menanggapi polemik pernyataan Ketua DPRA, Zulfadhli, mengenai wacana “pisah dengan Republik Indonesia” sebagai bentuk kekecewaan terhadap kondisi Aceh. Menurut Masady, rasa kecewa itu sangat wajar, karena sampai hari ini rakyat Aceh belum merasakan keadilan atas kekayaan daerahnya.

“Aceh memiliki kekayaan alam melimpah, mulai dari tambang hingga migas, tapi rakyat belum menikmati hasilnya. Kerusakan lingkungan semakin nyata, PAD masih minim, implementasi butir-butir MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak tuntas, sementara mantan kombatan, anak-anak korban konflik, dan masyarakat kecil banyak yang terabaikan. Fakta ini membuat Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Jadi kekecewaan itu bukan hanya wajar, tapi nyata dan beralasan,” ujar Masady, Jumat (5/9).

Data Terkini Aceh

    •    Tingkat kemiskinan Aceh pada Maret 2025 tercatat 12,33 %, tertinggi di Sumatera (BPS Aceh, Juli 2025).
    •    Penurunan kemiskinan di perdesaan terjadi (14,44 %), namun di perkotaan justru naik tipis (8,54 %).
    •    PAD Aceh 2024 sebesar Rp 5,86 triliun, naik 10 % dari tahun sebelumnya, tetapi masih bergantung pada transfer pusat termasuk Otsus (83,6 %).
    •    Dana Otsus Aceh yang seharusnya menjadi instrumen percepatan pembangunan, seringkali tidak efektif karena lemahnya tata kelola dan tidak fokus pada sektor prioritas.

Tanggung Jawab Bersama: Pusat dan Daerah

Masady menegaskan bahwa Pemerintah Pusat tidak boleh lagi setengah hati dalam menyelesaikan persoalan Aceh.

“Pemerintah Pusat harus segera menuntaskan implementasi MoU Helsinki dan UUPA, memastikan pengelolaan SDA lebih berpihak kepada rakyat Aceh, serta memberikan perhatian khusus bagi mantan kombatan, korban konflik, dan generasi muda Aceh. Tanpa kebijakan yang serius, kesenjangan antara potensi dan kenyataan akan semakin lebar,” tegasnya.

Namun Masady juga mengingatkan, persoalan Aceh bukan hanya karena pusat.

“Kita tidak bisa menutup mata bahwa pengelolaan Dana Otsus di Aceh juga kerap bermasalah. Banyak kasus penyalahgunaan dan korupsi membuat manfaatnya tidak dirasakan rakyat secara optimal. Karena itu, pemerintah daerah juga wajib berbenah dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik,” tambahnya.

Masady juga menyoroti pentingnya soliditas wakil rakyat Aceh di Senayan.

“DPR RI dan DPD RI asal Aceh harus bersatu memperjuangkan kepentingan Aceh. Jangan terpecah oleh kepentingan politik jangka pendek. Dengan soliditas, mereka bisa memperjuangkan revisi regulasi yang merugikan Aceh, memperkuat alokasi dana pusat untuk pembangunan, serta memastikan kekhususan Aceh benar-benar dihormati,” katanya.

Masady menegaskan bahwa narasi pemisahan bukanlah jalan keluar. Yang dibutuhkan adalah konsistensi perjuangan politik, persatuan, dan kerja nyata.

“Kekecewaan harus menjadi energi perjuangan yang konstruktif. Jalan kita adalah memperkuat posisi tawar politik Aceh di pusat, menuntut hak-hak Aceh secara konstitusional, mendorong pemerintah pusat hadir dengan kebijakan nyata, sekaligus memperbaiki tata kelola di tingkat daerah. Hanya dengan cara ini, Aceh bisa bangkit dari kemiskinan dan keterbelakangan,” lanjutnya.

Namun Masady juga mengingatkan, persoalan Aceh bukan hanya karena pusat.

“Kita tidak bisa menutup mata bahwa pengelolaan Dana Otsus di Aceh juga kerap bermasalah. Banyak kasus penyalahgunaan dan korupsi membuat manfaatnya tidak dirasakan rakyat secara optimal. Karena itu, pemerintah daerah juga wajib berbenah dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik,” pungkasnya.

Quote