Jakarta, Gesuri.id - Politikus PDI Perjuangan asal Aceh, Masady Manggeng, menilai posisi tawar Aceh di politik nasional lemah. Salah satu indikasi lemahnya posisi Aceh adalah absennya wakil Aceh di Komisi II DPR RI.
“Ketiadaan wakil Aceh di Komisi II membuat isu-isu strategis terkait kekhususan Aceh kehilangan saluran langsung di Senayan,” ujar putra asli Aceh Barat Daya itu kepada AJNN, Senin (8/9).
Komisi ini merupakan mitra strategis pemerintah pusat yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri, agraria, otonomi daerah, hingga implementasi UUPA.
Baca: Ganjar Amini Pernyataan Puan Soal Nama Sekjen PDI Perjuangan
Masady mengingatkan, UUPA secara tegas mewajibkan pemerintah pusat berkonsultasi dengan DPR Aceh dalam setiap kebijakan terkait Aceh. Namun dalam praktiknya, konsultasi itu kerap hanya menjadi formalitas administratif.
“Posisi DPRA tetap diperlakukan setara dengan DPRD provinsi lain. Akibatnya, konsultasi tidak punya daya ikat,” ucapnya.
Kondisi ini, menurutnya, membuat banyak keputusan penting yang menyangkut Aceh—mulai dari tata kelola dana otonomi khusus hingga penyelesaian sengketa batas wilayah—ditetapkan tanpa keterlibatan substansial lembaga politik Aceh.
“MoU Helsinki menekankan penguatan kekhususan, tetapi implementasinya sering mandek di meja birokrasi,” kata Masady.
Dengan jumlah penduduk sekitar 5,4 juta jiwa (BPS 2024), Aceh hanya mendapat 13 kursi DPR RI. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding Jawa Barat (96 kursi) atau Jawa Timur (87 kursi). Menurut Masady, representasi yang sempit membuat ruang politik Aceh di Senayan makin terbatas, terlebih tanpa satu pun wakil di Komisi II.
Pada periode 2020–2024, Komisi II DPR RI menangani sejumlah agenda krusial, seperti revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, evaluasi dana otonomi khusus, hingga penyelesaian sengketa batas wilayah antarprovinsi—semua isu yang berkaitan langsung dengan Aceh.
“Absennya Aceh di Komisi II berarti kita kehilangan akses dalam perumusan kebijakan nasional,” ucap mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia itu.
Masady mengajukan beberapa langkah untuk memperkuat posisi Aceh. Pertama, menghidupkan Forbes Aceh (Forum Bersama DPR RI dan DPD RI asal Aceh) agar tidak sekadar jadi wadah komunikasi, melainkan aktif melakukan lobi lintas komisi.
Baca: Ganjar Nilai Ada Upaya Presiden Prabowo Rangkul PDI Perjuangan
Kedua, kata dia, mendorong revisi aturan alokasi kursi DPR agar Aceh memperoleh representasi lebih proporsional sesuai amanat UUPA. Ketiga, memastikan segera ada wakil Aceh di Komisi II.
“DPR Aceh memang penting, tetapi realitas politik nasional ditentukan di Senayan. Karena itu, anggota DPR RI asal Aceh harus rutin berkonsultasi dengan DPRA agar aspirasi rakyat Aceh tersambung langsung ke pusat,” ujarnya.
Menurut Masady, tanpa perbaikan representasi di tingkat nasional, Aceh berisiko kehilangan substansi kekhususannya. “Jika Aceh terus absen di ruang strategis seperti Komisi II DPR RI, maka kekhususan hanya akan tinggal formalitas di atas kertas. Amanat MoU Helsinki harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar jargon politik,” tuturnya.