Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi XI DPR RI Musthofa menyoroti kondisi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dinilai semakin tertekan oleh aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama terkait kewajiban pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan pemenuhan modal inti.
Menurutnya, berbagai penyesuaian tersebut menjadi tantangan berat, khususnya bagi BPR dengan modal terbatas.
“BPR ini kondisinya cukup memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Ada beban penyesuaian yang cukup berat setelah perubahan kebijakan diterapkan,” ujar Musthofa saat pendalaman dalam Kunjungan Kerja Spesifik (Kunsfik) Komisi XI di Kantor OJK Provinsi Jawa Tengah, Semarang, hari Jumat (28/11).
Baca: Gerakan Menanam Pohon Harus Jadi Kesadaran Kolektif Bangsa
Musthofa menjelaskan bahwa aturan CKPN berdampak luas pada proses perkreditan, mulai dari analisis, penetapan suku bunga, hingga pencatatan keuangan. Tanpa penguatan modal, BPR berisiko tidak memenuhi ketentuan modal inti minimum.
“Dampak CKPN ini besar sekali. Bagi BPR yang modalnya terbatas, mereka bisa saja tidak memenuhi ketentuan modal inti yang diwajibkan,” tegasnya.
Mustofa juga meminta agar persepsi publik terkait BPR diluruskan. Menurutnya, tidak semua BPR berada dalam kondisi bermasalah, meskipun beberapa kasus mencuat ke permukaan.
“Sekarang muncul persepsi seakan-akan banyak BPR tumbang atau tutup. Ini yang harus diluruskan. Faktanya, banyak BPR yang baik-baik saja dan tetap berjalan sehat,” jelasnya.
Data dalam Kunsfik Komisi XI menunjukkan bahwa tekanan terhadap BPR memang nyata. Di Jawa Tengah, rasio kredit bermasalah (NPL gross) BPR mencapai 16,69 persen, jauh di atas batas aman OJK yaitu 5 persen. Kredit pun terkontraksi 2,75 persen per April 2025. Kasus besar seperti di BPR Jepara Artha dengan 40 kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar menunjukkan lemahnya tata kelola di sejumlah BPR.
Jumlah BPR dan BPR Syariah (BPRS) secara nasional juga menurun menjadi 1.326 BPR dan 174 BPRS akibat konsolidasi serta pencabutan izin usaha. Meski demikian, aset dan penghimpunan dana BPR secara nasional masih mencatat pertumbuhan.
Di Jawa Tengah dan Yogyakarta saja, jumlah BPR/S berkurang 12 unit sejak akhir 2024. Konsolidasi besar 33 BPR Badan Kredit Kecamatan (BKK) juga tengah berjalan dan ditargetkan rampung pada 2027, dengan proyeksi aset lebih dari Rp15 triliun.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Marsinah Lebih Layak
Berbeda dengan BPR, kinerja Bank Pembangunan Daerah (BPD) seperti Bank Jateng relatif stabil. Bank Jateng menjadi salah satu penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) terbesar, dengan realisasi Rp4,438 triliun dari kuota Rp7 triliun hingga Oktober 2025, serta mencatat NPL hanya 1 persen. Jawa Tengah juga menjadi provinsi dengan penyaluran KUR terbesar secara nasional, mencapai Rp34,73 triliun.
Musthofa menegaskan perlunya penguatan pengawasan dan pendampingan dari OJK agar BPR mampu beradaptasi dengan aturan baru tanpa kehilangan kepercayaan masyarakat.
“Pengawasan OJK harus betul-betul memastikan bahwa BPD dan BPR dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar ekonomi daerah, terutama dalam pembiayaan UMKM,” tutupnya.

















































































