Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima menyebut, partainya belum bisa menentukan kebijakan resmi menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
"Kami masih butuh masukan dari berbagai narasumber implikasi putusan itu terhadap undang-undang selanjutnya seperti apa," kata Aria Bima menjawab pertanyaan awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7).
Politikus itu mengatakan PDI Perjuangan baru melakukan rapat yang dipimpin Deddy Yevri Sitorus menentukan sikap terhadap putusan MK nomor 135.
"Tadi Pak Deddy Sitorus selaku Ketua bidang Pemilu dan Pilkada baru mengadakan rapat untuk menentukan sikap DPP PDI Perjuangan seperti apa menyikapi putusan MK," kata Aria Bima.
Sebelumnya, DPP NasDem menyebut bisa terjadi pelanggaran hukum untuk menindaklanjuti putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Hal demikian seperti disampaikan Anggota Majelis Tinggi NasDem Lestari Moerdijat (Rerie) dalam konferensi pers di kantor partainya, Jakarta, Senin (30/6).
“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” kata Rerie dalam keterangan persnya dikutip Selasa (1/7).
Rerie menerangkan pemilu di Indonesia pada dasarnya dilaksanakan setiap lima tahun sekali seperti tertuang dalam Pasal 22E UUD NRI 1945.
Menurut dia, pemilu seperti tertuang dalam pasal itu ialah kesempatan rakyat memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Rerie mengatakan bakal terjadi pelanggaran konstitusional apabila pemilu untuk memilih caleg DPRD tidak dilaksanakan lima tahun sekali.
Namun, kata dia, putusan nomor 135 membuat pemilihan kepala daerah dan DPRD tidak dilaksanakan setiap lima tahun.
Sebab, kata Rerie, MK dalam putusan nomor 135 menyatakan pemisahan pemilu nasional dan lokal selama 2 tahun 6 bulan.
Artinya, kata dia, dengan mengacu keputusan MK, pemilu nasional dilakukan pada 2029 setelah kontestasi 2024 dan lokal dilaksanakan 2,5 tahun kemudian.
"Putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22E UUD NRI 1945,” ungkap Wakil Ketua MPR RI itu.
Dia juga menilai putusan MK nomor 135 melampaui kewenangan legislatif terkait open legal policy untuk menentukan model pemilu.
"MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ujar dia.