Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menegaskan industri ikan hias Indonesia memiliki potensi strategis yang luar biasa untuk menjadi sumber penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan wilayah, sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Rokhmin saat menjadi narasumber dalam Talkshow “Potensi dan Peluang Ikan Hias”, yang digelar mendukung Kontes Ikan Hias Channa “Come Back To Channatourahmi #3” di Gedung Exhibition Hall Raiser Ikan Hias, Cibinong. Acara ini diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Minggu (14/12).
Diskusi ini menghadirkan berbagai narasumber kunci dari pemerintah dan pelaku industri. Sesi ini diperkaya oleh pandangan di antaranya Machmud (Plt. Dirjen PDSPKP KKP), Erwin Dwiyana (Direktur Pemasaran KKP), Sugeng Sudiarto, A.Pi., M.M (Direktur Manajemen Risiko Badan Karantina), Teguh (Ketua INOFE), Joty Atmadjaja (JBG Transhipping Service), Nurhidayat, S.Pi., M.Si (Badan Riset dan Inovasi Nasional), serta perwakilan komunitas channa Bogor dan Depok.
Menurut Prof. Rokhmin, Indonesia memiliki modal ekologis dan ekonomi yang nyaris sempurna untuk mengembangkan industri ikan hias. Sebagai pusat keanekaragaman ikan hias terbesar di dunia, Indonesia memiliki Maximum Sustainable Yield (MSY) yang sangat besar, namun tingkat pemanfaatannya masih di bawah 25 persen.
“Ini berarti ruang pertumbuhan industri ikan hias Indonesia masih sangat luas, tanpa harus mengorbankan keberlanjutan sumber daya,” ujar Prof. Rokhmin yang juga Rektor Universitas UMMI Bogor.
Dengan potensi tersebut, Prof. Rokhmin menekankan perlunya strategi terpadu antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan komunitas untuk menjadikan ikan hias sebagai salah satu sektor unggulan yang mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat sekaligus memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Dalam pemaparannya, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan IPB University ini menegaskan, Indonesia kembali meneguhkan posisinya sebagai pusat ikan hias dunia.
Tercatat, negeri ini memiliki sekitar 650 spesies ikan hias air laut, dengan lebih dari 480 spesies telah teridentifikasi dan sekitar 200 spesies sudah diperdagangkan. Sementara itu, untuk ikan hias air tawar, Indonesia menguasai sekitar 400 spesies dari total ±1.100 spesies yang ada di dunia.
Secara keseluruhan, Indonesia telah memperdagangkan ±1.600 jenis ikan hias, di mana ±750 jenis merupakan ikan hias air tawar. Angka ini menegaskan keunggulan biodiversitas sekaligus peluang besar bagi pengembangan industri ikan hias nasional.
Keunggulan Indonesia tidak hanya terletak pada kekayaan spesies, tetapi juga pada kemampuan domestikasi ikan hias impor. Berbagai jenis populer seperti koi, maskoki, discus, guppy, cardinal tetra, hingga black ghost telah berhasil dibudidayakan secara lokal. Hal ini menunjukkan kapasitas teknologi budidaya nasional yang semakin matang dan siap bersaing di pasar global.
Dengan modal ekologis yang melimpah dan teknologi budidaya yang terus berkembang, Indonesia berpeluang besar menjadi pusat industri ikan hias berkelanjutan yang mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, serta memperkuat posisi bangsa di kancah perdagangan internasional.
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa bisnis ikan hias merupakan sektor padat karya yang relatif mudah diadopsi oleh masyarakat, terutama di pedesaan. Proses budidaya, pemeliharaan, pengemasan, hingga pengiriman ikan hias tidak membutuhkan teknologi rumit maupun biaya mahal, sehingga menjadikannya industri yang inklusif dan berdaya guna tinggi.
“Budidaya ikan hias itu is not a rocket science. Masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan, mampu menguasainya dengan cepat. Inilah yang membuat industri ini sangat efektif dalam mengurangi kesenjangan ekonomi,” ujar Prof. Rokhmin, yang pernah menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Gus Dur dan Megawati.
Sumber produksi ikan hias Indonesia tersebar di perairan laut, sungai, danau, hingga rawa yang umumnya berada di wilayah pedesaan dan luar Jawa. Hal ini menjadikan pengembangan industri ikan hias sebagai salah satu strategi untuk mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah.
Dalam konteks global, industri ikan hias merupakan bagian dari industri hewan peliharaan dunia dengan nilai ekonomi mencapai USD 15–30 miliar per tahun. Data perdagangan internasional mencatat bahwa impor ikan hias dunia pada 2024 mencapai USD 335,1 juta, dengan tren pertumbuhan jangka panjang yang tetap positif.
Dengan keunggulan ekologis, kapasitas budidaya yang semakin matang, serta peluang pasar global yang terus berkembang, Prof. Rokhmin menekankan bahwa Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadikan industri ikan hias sebagai motor pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sekaligus penggerak kesejahteraan masyarakat.
IProf. Rokhmin Dahuri menegaskan, Indonesia diakui dunia sebagai pusat keanekaragaman ikan hias (biodiversitas tertinggi). Berdasarkan data yang ada, Indonesia memiliki Potensi Produksi Lestari (Maximum Sustainable Yield atau MSY) dan jumlah spesies (varietas) ikan hias terbesar di dunia. Namun, tingkat pemanfaatannya saat ini tercatat maih kurang dari 25% dari MSY. Produksi ikan hias Indonesia terus meningkat, menempatkan Indonesia sebagai przodusen ikan hias terbesar kedua di dunia, setelah Jepang.
5 Tantangan Utama Industri Ikan Hias
Meskipun memiliki potensi raksasa, industri ikan hias Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan kompleks yang menghambat laju pertumbuhannya.
- Fish Welfare, Lingkungan, dan Branding Lemah
- Skala Kecil & Lembaga Lemah
- Akses Pembiayaan & Teknologi Terbatas
- Standar Mutu & Biosekuriti Belum Seragam
- Logistik Mahal & Berisiko
7 Arah Kebijakan dan Strategi Utama
Untuk menjadikan industri ikan hias sebagai sumber lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi rakyat, diperlukan arah kebijakan dan strategi yang komprehensif dari hulu ke hilir:
- Riset & SDM: Memperkuat balai riset/BRIN/kampus untuk benih unggul, teknologi budidaya modern, penurunan mortalitas, serta mengadakan pelatihan dan sertifikasi nasional bagi pembudidaya.
- Klaster & Desa Ekspor: Membangun klaster atau desa ekspor di 5 provinsi utama dengan koperasi/BUMDes sebagai off-taker, didukung infrastruktur dasar dan pendampingan manajemen usaha.
- Tata Niaga & Logistik: Membentuk koridor logistik ikan hidup di bandara kunci, mempermudah perizinan-karantina lewat satu pintu digital, serta mengembangkan marketplace digital ikan hias Indonesia.
- Pasar & Branding: Memperkuat pasar utama sambil membuka pasar baru. Menggunakan perwakilan RI sebagai duta dan membangun brand "Indonesian Sustainable Ornamental Fish".
- Keberlanjutan & Fish Welfare: Menetapkan pedoman nasional kesejahteraan ikan, sertifikasi eco & welfare-friendly, serta menerapkan kuota lestari dan traceability (keterlacakan) sampai ekspor untuk ikan hias laut.
- Welcoming Entrepreneur: Menciptakan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif.
- Improving Management: Membangun manajemen terpadu "Indonesia Ornamental Fish Incorporated".
Indonesia meneguhkan diri sebagai eksportir ikan hias terbesar kedua dunia dengan pangsa pasar sekitar 12–13 persen. Prof. Rokhmin Dahuri menilai, meskipun pertumbuhan pasar global tergolong moderat, tren ekspor ikan hias Indonesia tetap positif. Hal ini membuka peluang besar untuk memperluas pangsa pasar global di masa mendatang.
Pasar ekspor Indonesia juga semakin terdiversifikasi. Selain China dan Amerika Serikat sebagai tujuan utama, lebih dari 40 persen nilai ekspor dan sekitar 50 persen volume mengalir ke berbagai negara lain. Diversifikasi ini menandakan ketahanan pasar yang semakin kuat dan memperkuat posisi Indonesia di perdagangan internasional.
Dalam periode 2020–2024, produksi ikan hias Indonesia relatif stabil di kisaran 1,48–1,59 miliar ekor per tahun, dengan nilai ekonomi mencapai Rp 6,7–7,7 triliun. Menariknya, lebih dari 99,9 persen volume dan nilai produksi berasal dari ikan hias air tawar, menegaskan dominasi sektor ini dalam industri nasional.
Pada 2024, ekspor ikan hias Indonesia tercatat sebesar USD 40,69 juta dengan volume sekitar 1.780 ton, didominasi oleh ikan hias air tawar. Komoditas unggulan antara lain arwana dan berbagai jenis ikan hias air tawar lainnya, dengan tujuan utama ekspor ke China, Amerika Serikat, Jepang, serta sejumlah negara Eropa yang menunjukkan pertumbuhan signifikan.
Dengan kekayaan biodiversitas, kapasitas budidaya yang matang, serta pasar ekspor yang semakin tangguh, Indonesia berpeluang besar untuk memperkuat posisinya sebagai pusat industri ikan hias dunia sekaligus motor pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Ketua Dewan Pakar Aspeksindo (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se Indonesia) itu mengingatkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia di sektor ikan hias belum sepenuhnya berubah menjadi keunggulan kompetitif. Tantangan utama masih berkisar pada kualitas produk, standardisasi, logistik, sertifikasi kesehatan ikan, serta penguasaan pasar dan merek.
“Tanpa hilirisasi dan penguatan kelembagaan, Indonesia berisiko terus berada di level pemasok, bukan penentu harga dan arah pasar,” tegasnya.
Dalam pandangannya, pembangunan industri ikan hias harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi ekonomi pembangunan nasional. Negara perlu hadir melalui kebijakan terintegrasi, mulai dari riset dan inovasi, penguatan SDM pembudidaya, kemudahan pembiayaan, hingga diplomasi pasar ekspor.
“Jika dikelola dengan visi ekonomi pembangunan dan ekonomi biru, industri ikan hias dapat menjadi pilar baru pertumbuhan ekonomi Indonesia—inklusif, berkelanjutan, dan berbasis keunggulan alam bangsa,” ujarnya.
Menutup pemaparannya, Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa untuk menjadikan industri ikan hias sebagai motor penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, diperlukan kebijakan pembangunan yang terintegrasi.
“Penguatan riset dan inovasi, peningkatan kualitas SDM pembudidaya, standardisasi dan sertifikasi, hilirisasi, serta promosi global harus berjalan serempak. Ikan hias bukan sekadar hobi, tetapi industri strategis masa depan berbasis sumber daya terbarukan,” pungkas Ketua Umum Masyarakat Artikultura Indonesia (MAI).

















































































