Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri mengungkapkan, ironi besar di sektor perikanan Indonesia dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Perikanan Tangkap “Sinergi Bersama Mewujudkan Tata Kelola Perikanan Tangkap yang Patisipatif dan Inklusif”, Ditjen. Perikanan Tangkap - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kamis (15/5).
"Indonesia memiliki potensi kelautan yang luar biasa, namun kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB nasional hanya sekitar 2,65%. Sementara itu, nelayan dan pembudidaya ikan masih hidup dalam kemiskinan," ujar Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertema, “Pembangunan Perikanan Tangkap Yang Mensejahterakan Nelayan Dan Berkontribusi Signifikan Bagi Pertumbuhan Ekonomi Secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.
Pada kesempatan itu, beliau menyoroti berbagai permasalahan yang menghambat kemajuan sektor ini, termasuk overfishing, illegal fishing, dan kurangnya pengembangan industri pengolahan hasil perikanan.
Rokhmin Dahuri mendorong pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan, modern, dan inklusif, serta memperkuat peran nelayan tradisional dalam proses tersebut, khususnya dalam mewujudkan "Indonesia Emas 2045".
Ia juga menekankan pentingnya pembangunan berbasis masyarakat dan peningkatan kesejahteraan nelayan sebagai langkah strategis menuju Indonesia Emas 2045.
"Pertama, meskipun kontribusi subsektor Perikanan Tangkap terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) relatif kecil, hanya sekitar 1%," ujarnya.
Namun, tegasnya, Perikanan Tangkap menyerap tenaga kerja langsung (on-fishing) sebanyak 3,2 juta orang terdiri dari 2,76 juta nelayan laut dan 0,44 juta nelayan PUD (Perairan Umum darat).
Sementara itu, banyaknya tenaga kerja yang terserap di industri hulu (seperti galangan kapal, pabrik mesin kapal, pabrik alat tangkap, dan lainnya) dan di industri hilir nya (pabrik es, cold storage, pabrik pengolahan ikan, dan lainnya) sekitar 3,2 juta orang (FAO, 2024).
Sehingga, total tenaga kerja yang bekerja di subsektor Perikanan Tangkap sebanyak 6,4 juta orang. Karena, rata-rata ukuran keluarga nelayan adalah 5 orang ( Maka, ada 30,2 juta orang (11% total penduduk Indonesia) kehidupan ekonominya bergantung pada subsektor Perikanan Tangkap.
Kedua, Sekitar 54% total asupan protein hewani rakyat Indonesia berasal dari berbagai jenis ikan, dan 8,18 juta ton (32% )dari Perikanan Tangkap (Capture Fisheries) serta sisanya 5,61 juta ton (22%) dari Perikanan Budidaya (Aquaculture) (KKP, 2023).
Protein, khususnya protein hewani (ikan) sangat baik untuk kesehatan dan kecerdasan manusia ( Maka, Perikanan Tangkap sangat signifikan membentuk kualitas SDM Indonesia.
Ketiga, Perikanan Tangkap menciptakan efek pengganda (multiplier effects) ekonomi yang besar dan luas.
Keempat, Indonesia memiliki total potensi produksi (MSY) perikanan tangkap sekitar 12,1 juta ton di perairan laut (13,4% dunia), terbesar di dunia dengan total MSY sekitar 90 juta ton/tahun (FAO, 2020). Dan, MSY PUD nya sebesar 3 juta ton/tahun.
Kelima, Sejak 2012 Indonesia menjadi produsen perikanan tangkap terbesar kedua di dunia, setelah China (FAO, 2022).
"Sudah saatnya kita memberikan perhatian serius pada sektor kelautan dan perikanan, bukan hanya sebagai sumber daya alam, tetapi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi yang berkelanjutan," tegasnya..
Dalam kesempatan itu, Rektor Universitas UMMI itu mengeluarkan peringatan keras terkait berbagai tantangan ekonomi dan sosial yang dihadapi Indonesia, termasuk kemiskinan nelayan, deflasi, hingga ancaman generasi penerus yang lemah akibat stunting dan gizi buruk.
Menurutnya, meskipun memiliki potensi besar, sektor Kelautan dan Perikanan (KP) masih menghadapi berbagai permasalahan yang menghambat kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
"Pertumbuhan ekonomi masih rendah, ketimpangan semakin parah, dan krisis pangan menghantui masa depan generasi kita. Jika tidak segera ditangani, kita akan menghadapi 'lost generation'," katanya.
Prof. Rokhmin Dahuri menyoroti bahwa kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan masih tinggi, dengan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB hanya 2,65%, jauh di bawah potensinya.
Sektor perikanan Indonesia sebenarnya sudah menjadi terbesar kedua di dunia setelah China, tetapi masih terkendala praktik overfishing dan destructive fishing merupakan tantangan utama yang harus segera diatasi. Untuk itu, pentingnya pembangunan perikanan budidaya dan industri pengolahan perikanan serta industri bioteknologi perairan yang masih tertinggal.
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menekankan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki tugas pokok untuk mengatasi permasalahan internal sektor kelautan dan perikanan serta mendayagunakan seluruh potensi sektor ini untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Ia juga menyoroti perlunya KKP membantu memecahkan permasalahan dan tantangan bangsa, seperti pengangguran, kemiskinan, gizi buruk, stunting, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam 10 tahun terakhir.
"Perlu dicatat, KKP menorehkan prestasi luar biasa sumber daya secara volumetri sejak tahun 2009. Produksi perikanan Indonesia sudah mencapai terbesar kedua di dunia, hanya kalah dengan China saja," ungkap Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University ini. Sayangnya, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan nelayan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam menghadapi tantangan global seperti pemanasan global, ketegangan geopolitik, perlambatan ekonomi global, dan disrupsi teknologi Industry 4.0, Prof. Rokhmin menekankan pentingnya mendayagunakan potensi pembangunan kelautan dan perikanan secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dengan pernyataan tegas ini, Prof. Rokhmin Dahuri mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam membenahi sektor kelautan dan perikanan, agar dapat menjadi pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Terkait Ekonomi Kelautan (Blue Economy), Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia.
“Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2023 (Rp 3.000 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini,” jelas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.
Asupan Protein Hewani Masyarakat Indonesia sebesar 54% berasal dari Ikan (MSC, 2021). Pada 2023 Produksi perikanan Indonesia (tanpa produksi rumput laut) sebesar 13,79 juta ton Ikan yang terdiri dari: Perikanan Tangkap Laut 7,71 Juta ton, Perikanan Tangkap Darat 0,47 juta ton, Perikanan Budidaya 5,61 juta ton. 32,03% asupan protein hewani berasal dari Perikanan Tangkap.
Rokhmin Dahuri menyoroti peran pangan akuatik sebagai kunci penting dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pangan akuatik, yang mencakup perikanan budidaya dan perikanan tangkap, tidak hanya berperan sebagai sumber protein dan nutrisi penting, tetapi juga sebagai penopang ekonomi dan mata pencaharian bagi banyak masyarakat, terutama di wilayah pesisir.
Pangan akuatik meliputi perikanan budidaya (akuakultur) yang menghasilkan berbagai jenis ikan, kerang, udang, rumput laut, dan sebagainya, serta perikanan tangkap yang melibatkan penangkapan ikan di laut.
Menyediakan pangan low-input dan ramah lingkungan.
Bisa direkomendasikan untuk program makan bergizi. Kandungan protein ikan menjadi modal menyiapkan SDM untuk Indonesia Emas 2045 mendatang.
Sumber protein dan mikronutrien tinggi (omega-3, Vit D, dll). Lebih dari 3,3 miliar orang mendapatkan setidaknya 20% protein hewani mereka dari ikan (FAO, 2020).
Pangan Akuatik memenuhi sekitar 8% zink dan besi, 13% protein, dan 27% vitamin B12 dari Pangan Akuatik (Golden et al., 2021).
Menjadi alternatif sumber pangan berkelanjutan di masa depan dan mengganti alih fungsi lahan.
Pencapaian target SDGs ke 14: Life Below Water: Mengurangi kelaparan dan meningkatkan kesehatan, Meningkatkan keberlanjutan lautan, air, iklim dan daratan, Meningkatkan lapangan kerja. Industri perikanan merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pangan akuatik sebagai solusi pemenuhan pangan bergizi di masa depan
Lebih dari 3 miliar orang di seluruh dunia bergantung pada pangan akuatik sebagai sumber utama protein dan mikronutrien seperti kalsium, iodin, dan zat besi (FAO, 2022).
Pangan akuatik, terutama ikan pelagis kecil (sardin, makarel), kerang, dan salmonid, merupakan sumber utama Omega-3 (DHA+EPA), Vitamin B12, dan Iodin.
Contohnya, ikan pelagis kecil dapat memenuhi lebih dari 100% kebutuhan harian Omega-3 dan Vitamin B12, menjadikannya pilihan penting dalam memenuhi kebutuhan gizi esensial yang sulit diperoleh dari pangan darat.
Pangan akuatik memiliki efisiensi konversi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan hewan ternak, menjadikannya solusi berkelanjutan untuk kebutuhan protein global.
"Sebelum pembentukan KKP, Indonesia menempati posisi ketujuh dalam produksi perikanan laut global. Pada 2023, Indonesia naik ke posisi kedua, setelah China," ungkapnya.