Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI Safaruddin menyoroti praktik pungutan liar (pungli) yang masih mewarnai proses rekrutmen di tubuh Polri.
Kritik itu ia sampaikan dalam rapat Panja Reformasi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan bersama sejumlah pakar dan perwakilan lembaga penegak hukum di kompleks parlemen, dikutip Jumat (5/12).
"Kalau di Madura itu, Bintara (bayar) Rp 100 sampai Rp 200 juta, Pak. Dia jual sapi dengan sawah, kebun. Bintara, Pak," ungkap Safaruddin.
Politisi PDI Perjuangan yang juga purnawirawan Polri ini menuturkan bahwa fenomena pungli dalam rekrutmen anggota Polri bukan hal baru.
Ia bahkan mengungkapkan pengalamannya saat masih bertugas dan berupaya membersihkan praktik serupa di Jawa Timur, namun mendapatkan resistensi dari internal.
"Dulu pernah saya mencoba membersihkan di Jawa Timur. Apa kata anggota-anggota yang sebelumnya suruh bayar-bayar orang masuk polisi? 'Udah, tunggu saja Pak Safaruddin pindah. Paling dua tahun sudah pindah, kita balik lagi'," ucapnya.
Mantan Kapolda Kalimantan Timur itu menilai reformasi kultural masih menjadi tantangan terbesar dalam membenahi institusi Polri, jauh lebih sulit dibanding reformasi struktural. Ia menekankan perlunya perubahan menyeluruh yang menyasar pola pikir dan budaya kerja di internal kepolisian.
Selain itu, Safaruddin mengusulkan peningkatan kesejahteraan bagi aparat penegak hukum sebagai salah satu cara menekan praktik pungli, disertai dengan pemberian sanksi keras bagi pelanggar.
"Kalau mungkin gajinya Rp 300 juta seumpamanya per orang, mau disogok juga enggak mau mungkin, seumpamanya. Nah ini kan ada hitung-hitungannya nanti. Nah, ketika dia memainkan kasus, pecat. Hukuman yang tegas, tetapi kesejahteraan harus ditingkatkan," pungkasnya.

















































































