Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi I DPR RI, Sarifah Ainun Jariyah, menyoroti pentingnya pembaruan Undang-Undang Penyiaran dengan pendekatan yang adaptif terhadap perkembangan media digital. Hal ini ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat bersama pakar penyiaran dan media, Senin (21/7/2025).
Dalam pernyataannya, Sarifah menyebut telah terjadi pergeseran signifikan dari pusat penyiaran konvensional menuju ruang digital yang dikendalikan algoritma. Menurutnya, negara harus hadir bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi, melainkan untuk memastikan ruang digital yang aman, adil, dan edukatif.
Kepada Prof. Ahmad Ramli, pakar hukum komunikasi, Sarifah mengangkat isu masifnya sebaran konten audiovisual melalui platform seperti YouTube dan TikTok, yang saat ini belum dikategorikan sebagai lembaga penyiaran secara legal formal.
“Apakah Prof sepakat bahwa sudah saatnya UU Penyiaran mengadopsi pendekatan fungsional equivalence terhadap platform digital, agar mereka tidak terus bersembunyi di balik dalih user generated content?” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan celah hukum yang menghambat penegakan terhadap platform asing, terutama dalam konteks perlindungan anak dan penyebaran konten ilegal.
Sarifah merujuk pada kasus viral baru-baru ini, di mana seorang anak usia empat tahun menjadi korban kekerasan seksual oleh anak usia sembilan tahun, yang diduga terpapar konten tidak layak melalui media digital.
“Kita tidak bisa hanya mencari kambing hitam, tapi harus menyentuh akar masalahnya,” tambahnya.
Pertanyaan kedua diarahkan kepada Prof. Matsuki, menyoroti ketimpangan regulasi antara radio konvensional dan podcast digital.
Sarifah menyebut podcast kini menjadi konsumsi utama bagi generasi muda, namun tidak tunduk pada klasifikasi siaran maupun pengawasan isi seperti halnya radio konvensional.
“Kita sedang menghadapi kondisi regulatory asymmetry yang makin tajam,” jelasnya.
Ia mempertanyakan peran negara dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam memastikan kesetaraan tanggung jawab antara penyiaran konvensional dan digital, serta mengusulkan perlunya etika penyiaran digital yang setara dengan penyiaran visual.
Kepada Ignatius, yang dikenal sebagai peneliti transformasi media dan jurnalisme, Sarifah menyampaikan keprihatinan terhadap dominasi algoritma dalam ruang informasi digital. Ia menyoroti lemahnya standar etik pada konten kreator yang memiliki pengaruh besar terhadap opini publik, namun tidak tunduk pada prinsip-prinsip jurnalisme.
“Beberapa dari mereka tidak menerapkan prinsip cover both sides, bahkan tak memiliki mekanisme koreksi informasi,” ungkapnya.
Ia mempertanyakan apakah revisi regulasi penyiaran ke depan perlu mencantumkan standar tanggung jawab jurnalistik untuk media berbasis algoritma, termasuk YouTube, TikTok, dan podcast.
Sarifah juga menegaskan pentingnya negara mengambil peran dalam pembentukan karakter generasi muda melalui konten digital. Ia mengingatkan bahwa saat ini banyak anak-anak lebih mengenal TikTok daripada TVRI, dan sebagian besar proses belajar mereka berasal dari konten internet.
“Kita tidak anti teknologi, tapi konten hari ini telah menggantikan peran orang tua dan guru. Banyak yang memposting konten ekstrem tanpa batas, bahkan soal bunuh diri,” pungkasnya.