Jakarta, Gesuri.id - Salah satu penandatangan deklarasi juanda, Suzie Sudarman menegaskan Presiden Jokowi itu adalah engineeer dan bukan social scientist.
Penegasan ini merupakan dampak dipaksakannya Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Perhelatan Pilpres tahun 2024. Gibran diprediksi akan merusak sejumlah legacy yang dibuat Jokowi selama ini.
"Agak sedikit bagi yang kurang faham. Masalahnya Pak Jokowi itu engineer bukan social scientist. Kalau social scientist ada pakem ilmu untuk mensocial engineer sistem politik yang ada. Rekayaşa Ulang dan meng koridorkan arah yang akan menjanjikan sistem yang lebih adil." Kata Suzie dalam keterangannya kepada Gesuri.id.
Baca: Kader Banteng Jadi Ketua TPD Ganjar-Mahfud Papua Tengah
Lebih lanjut Suzie menjelaskan gemas dengan Pemilu yang selalu mendapatkan gangguan.
"Saya tentunya gemes karena pemilu seperti terlalu banyak gangguan di samping hoaks dan disinformasi ada bagian strategi politik yang tidak transparan" Katanya.
Selain itu menanamkan rasa tidak percaya pada penerus juga juga menjadi contoh yang tidak baik bagi masyarakat.
"Padahal menanamkan rasa tidak percaya pada penerus juga contoh yang tidak baik." Kata Suzie.
"Pemilu seyogyanya jelas untuk memperbaiki kehidupan bangsa agar tetap stabil dan bisa masuk era kemakmuran dan berkeadilan. Jadi tugas pemerintah adalah mendorong diskusi program yang berkenaan dengan kehidupan bangsa ke depan tanpa SARA tanpa korupsi dan membangun elemen yang menjadi landasan untuk mencapai tujuan kesejahteraan yang berkeadilan." Tambahnya.
Sebelumnya Ratusan tokoh Indonesia dari berbagai kelompok profesi meneken Maklumat Juanda yang berisi keprihatinan mereka terhadap demokrasi di Indonesia dan perjuangan reformasi 1998 yang dinilai kembali ke titik nol.
“Maklumat Juanda diprakarsai oleh keprihatinan mas Goenawan Mohamad. Saya dan teman teman juga merasakan hal yang sama, makanya saya teken Maklumat itu,” ujar Suzie Sudarman, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang saat ini menjadi visiting research scholar Don Johns Hopkins University kepada Harianindonesia.id melalui jaringan WhatsApp pribadinya, Minggu (22/10).
Baca: Rieke Aransemen Lagu Untuk Iringi Perjuangan Ganjar-Mahfud
Maklumat Juanda menulis ;
Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti. Reformasi dan Demokrasi yang kita tegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir, dikhianati.
Kedaulatan rakyat disingkirkan. Ruang publik dipersempit, oposisi menjelma aliansi kolusif, lembaga anti-korupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif ditebalkan. Yang menentukan nasib kita: kekuasaan pemimpin nasional dan para majikan partai.
Penguasa menyalahgunakan demokrasi melalui peraturan perundang-undangan, mulai dari Revisi UU KPK, KUHP, hingga UU Cipta Kerja. Konflik kepentingan pejabat kabinet sangat kuat. Prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Penyelesaian pelanggaran HAM berat berhenti di ranah non-yudisial, instan, dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek.
Politik dinasti terasa kental ketika Presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri. Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak Kepala Negara/Presiden yang berkuasa.
Presiden pun terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024 dengan menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga.
Rasa keadilan diinjak-injak. Masa depan bangsa dijadikan permainan kotor.
Kami memergoki perilaku politik yang nista dari penguasa dan kalangan atas ini. Ukuran moral, tentang yang adil dan tidak adil, yang patut dan tidak patut telah hilang. Perilaku yang nista itu adalah kolusi dan nepotisme yang dirobohkan oleh gerakan reformasi, seperempat abad lalu.
Itu sebabnya di sini kami, sejumlah warga negara dari pelbagai kalangan, bersuara. Indonesia memerlukan politik yang diabdikan untuk kedaulatan rakyat.
Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Kepala Negara, Presiden Jokowi, agar memberi teladan, dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga.
Dibacakan di Jalan Juanda, Jakarta
Hari ini, Senin, 15 Oktober 2023