Ikuti Kami

Tata Cara Pernikahan Penghayat Kepercayaan Diakui Pemerintah

Dengan terbitnya PP ini, negara mengakui tata cara pernikahan masyarakat penghayat kepercayaan. 

Tata Cara Pernikahan Penghayat Kepercayaan Diakui Pemerintah
Ilustrasi. Pernikahan masyarakat penghayat kepercayaan. 

Jakarta, Gesuri.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019.  Dengan terbitnya PP ini, negara mengakui tata cara pernikahan masyarakat penghayat kepercayaan. 

PP Nomor 40/2019 ini juga bisa dikatakan sebagai kebijakan bersejarah. 

Sebab, puluhan tahun sudah masyarakat penghayat kepercayaan mengalami diskriminasi di negeri ini.

Kepercayaan yang mereka anut dianggap bukan agama oleh negara. Walhasil, mereka sulit mengakses hak-hak sipil mereka selaku warga negara selama mereka masih memegang teguh kepercayaan mereka. 

Lantas,sejak kapan diskriminasi itu dialami warga penghayat kepercayaan? 

Akar diskriminasi itu sejatinya sudah muncul sejak Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 tahun 1965 terbit di era Presiden Soekarno. Berdasarkan PNPS itu, negara mengakui agama yang dianut penduduk Indonesia hanya enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Warga penghayat kepercayaan pun resah karena kepercayaan religi mereka berada diluar enam agama yang diakui dalam PNPS tersebut. Namun, dalam satu kurun waktu, PNPS Nomor 1/1965 ini belum berdampak serius bagi warga penghayat kepercayaan.

Malapetaka pun muncul ketika Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965 meletus. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi ‘tersangka’ dalam peristiwa itu diganyang di berbagai tempat. 

Dan ternyata masyarakat penghayat kepercayaan pun terkena getahnya. Tidak diakuinya kepercayaan mereka sebagai agama oleh negara membuat mereka turut menjadi sasaran amuk massa anti komunis. Mereka dianggap pendukung PKI karena dianggap tak beragama. 

Sesudah prahara Gestok 1965, nasib warga penghayat kepercayaan menjadi lebih buruk di era rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Lahirnya Ketetapan (TAP) MPR Nomor 4 tahun 1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan menjadi 'lonceng kematian' hak-hak sipil masyarakat penghayat kepercayaan di negeri ini.  

TAP Nomor 4/1978 ini mengharuskan adanya kolom agama dalam dokumen pencatatan sipil seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Permasalahannya, agama yang boleh dicatatkan dalam formulir pencatatan sipil itu hanyalah 5 agama yang diakui negara, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Sedangkan Konghucu pun telah dilarang oleh rezim Orde Baru pasca tragedi Gestok 1965. 

Walhasil, masyarakat penghayat kepercayaan pun tak bisa mencatatkan kepercayaan mereka di pencatatan sipil lantaran kepercayaan mereka dianggap bukan agama. Buahnya, mereka tidak bisa memperoleh berbagai dokumen pencatatan sipil karena kolom agamanya tak bisa diisi. Inilah diskriminasi yang harus dialami penghayat kepercayaan selama puluhan tahun.

Cahaya kebebasan bagi penghayat kepercayaan muncul tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para penghayat kepercayaan pada November 2017. Putusan MK itu memberi ruang bagi penghayat kepercayaan mencatatkan kepercayaan mereka  dalam e-KTP.

Salah satu pertimbangan MK dalam mengeluarkan putusan itu adalah hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, negara justru harus hadir untuk melindungi hak-hak tersebut.

Cahaya kebebasan itu pun kian merekah ketika pemerintahan Presiden Jokowi menerbitkan PP Nomor 40/2019. Dengan terbitnya PP ini, warga penghayat kepercayaan pun bisa mencatatkan pernikahan menurut tata cara mereka dalam pencatatan sipil. 

PP Nomor 40/2019 itu membuat pernikahan warga penghayat kepercayaan bisa diakui oleh negara. Dengan begitu, anak hasil dari perkawinan itu pun tak sulit mendapatkan Akta Kelahiran. 

Di era Jokowi, masyarakat penghayat kepercayaan pun tak lagi menjadi 'anak tiri' di negeri sendiri.

Quote