Ikuti Kami

Ahli Hukum Sepakat dengan Mahfud MD: Hak Angket Bisa Makzulkan Presiden, Ini Dasar Hukumnya

"Semua anggota parpol di DPR mempunyai legal standing untuk menuntut angket," kata Mahfud.

Ahli Hukum Sepakat dengan Mahfud MD: Hak Angket Bisa Makzulkan Presiden, Ini Dasar Hukumnya

Jakarta, Gesuri.id - Mahfud Md mengatakan dugaan kecurangan Pemilu 2024 dapat diselesaikan melalui jalur politik berupa hak angket DPR. Meskipun dapat menggunakan hak angket, tetapi tidak akan mengubah hasil Pemilu. Menurut Mahfud, hak angket juga dapat menjatuhkan sanksi berupa pemakzulan presiden atau impeachment.

“Semua anggota parpol di DPR mempunyai legal standing untuk menuntut angket. Adalah salah mereka yang mengatakan, bahwa kisruh pemilu ini tak bisa diselesaikan melalui angket. Bisa, dong,” kata Mahfud Md seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Senin (26/2).

Politik Hukum Pemakzulan Presiden 

Menurut Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, secara umum, politik hukum adalah arah kebijakan hukum yang akan dipertahankan, diganti, direvisi, dan dihilangkan. Melalui politik hukum, negara membuat rancangan dan rencana pembangunan hukum nasional di Indonesia. 

Beberapa doktrin atau pendapat sarjana mendefinisikan politik hukum sebagai garis kebijakan dasar menentukan arah, bentuk, dan substansi hukum yang akan dibuat atau diganti untuk tujuan negara.

Dalam keterangan tertulisnya, Abdul Fickar Hadjar menyampaikan, pemakzulan presiden dalam hukum Indonesia berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 yang melibatkan tiga lembaga (DPR, MPR, dan MK). Pemakzulan bisa terjadi dalam proses politik, seperti cawe-cawe presiden yang berpihak dalam Pilpres 2024. Namun, pemakzulan tetap ada kualifikasi perbuatan di ranah pidana, perbuatan tercela, atau alasan administrasi lain. Akibatnya, alasan pemakzulan bersifat spesifik yang dikualifikasi sebagai pelanggaran konstitusi atau UUD, bukan karena kebijakan.

"DPR merupakan pemegang alur utama pemakzulan. Jika tanpa usulan DPR, pemakzulan tidak dapat dilakukan," kata Abdul Fickar Hadjar, ahli hukum Universitas Trisakti. 

Perbuatan Presiden sebagai Dasar Pemakzulan

Perbuatan yang menyiratkan keberpihakan presiden pada salah satu cawapres sekaligus anaknya sulit dikualifikasi melawan konstitusi. Peraturan terkait kewajiban mengundurkan diri bagi capres dan cawapres yang mengikuti pemilu dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 tahun 2018 diubah. Awalnya, peraturan tersebut berbunyi:

“Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta Pemilu sebagai capres atau cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati.”

Lalu, peraturan tersebut diubah dalam PP Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 18 ayat (1). Beleid tersebut menjelaskan pengecualiannya selain Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD menambahkan   menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. 

Namun, menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden. Fickar mengatakan, meskipun aturan tersebut membuat menteri dan wali kota yang melaju sebagai capres atau cawapres peserta Pemilu 2024 harus mengundurkan diri, tetapi putra presiden, Gibran tidak melakukannya. Namun, alasan ini tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana, perbuatan tercela, atau alasan administratif lain sebagaimana dipersyaratkan konstitusi.

Menurut Fickar, pelanggaran lain yang dilakukan Jokowi dalam Pemilu 2024 juga terjadi dalam pembagian bantuan sosial (bansos) ketika masa kampanye. Bahkan, oknum menteri menyatakan, bansos itu dari pribadi presiden Jokowi, ayahnya Gibran.

"Perbuatan ini dapat dikualifisir sebagai tindakan politis yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Tindakan ini dinilai pidana pemilu, tetapi KPU dan Bawaslu tidak melakukan penindakan lanjut," kata dia.

Jika terbukti secara materiil pemberian bansos dilakukan dengan permintaan untuk memilih calon tertentu, termasuk permintaan presiden agar anaknya sebagai cawapres menang, maka dikualifikasi sebagai pidana pemilu dan penyuapan. Bahkan, tindakan itu juga dapat dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi karena telah merugikan negara. Sebab, bansos diadakan menggunakan uang negara. Sampai saat ini, proses pengajuan hak angket DPR masih menunggu titik akhir berupa pemakzulan presiden atau tidak.

Sumber

Quote