Ikuti Kami

5 Pelajaran dalam 45 Menit di Balai Pemuda

Oleh Eri Irawan, anggota DPRD Kota Surabaya, Jawa Timur.

5 Pelajaran dalam 45 Menit di Balai Pemuda
Anggota DPRD Kota Surabaya, Jawa Timur, Eri Irawan.

Jakarta, Gesuri.id - Di Balai Pemuda, gedung bersejarah yang dibangun sejak 1907 dan memiliki kisah transformasi dari bangunan elitis penjajah Belanda menjadi pusat seni-budaya rakyat, Hasto Kristiyanto menatap ratusan anak muda di hadapannya dalam program ”Heroisme” yang dihelat Youth Leaders Forum Surabaya. Selama 45 menit, penulis buku ”Geopolitik Bung Karno: Progressive Geopolitical Coexistence” setebal lebih dari 300 halaman itu—saya membaca soft copy-nya di laman BPIP—mula-mula bicara soal pemikiran geopolitik Bung Karno lalu menjadikannya sebagai pintu masuk untuk mengingatkan anak-anak muda Kota Pahlawan bahwa ada lima hal yang harus diperbuat hari ini. Lima hal yang membedakan mentalitas seorang pahlawan dan seorang pecundang.

Minggu malam itu, 9 November 2025, Hasto Kristiyanto menjelaskan betapa pentingnya pemahaman geopolitik Soekarno dalam menentukan posisi bangsa Indonesia. Pemahaman itu muncul dari amatan yang tajam terhadap kondisi bangsa dan relasi antarbangsa yang tak bisa lepas dari tekad untuk berdaulat dan merdeka. 

”Dengan national view, world wide view, society view, maka Bung Karno merumuskan kepentingan nasional. Apa itu? Indonesia merdeka. Itu diucapkan pada usia 26 tahun di tengah hegemoni Belanda yang luar biasa. Dari situ kemudian menghasilkan satu tekad dan tindakan strategis: mengorganisasir rakyat,” tutur Hasto, yang meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan. 

Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri 

Kombinasi Lima Hal 

Kemampuan Bung Karno setidaknya dibentuk oleh kombinasi lima hal yang bisa diteladani oleh generasi muda saat ini. Teladan yang dibentuk oleh kematangan intelektual dan kokohnya prinsip-prinsip dasar yang dipunyai dalam berbangsa dan bernegara.

Hal mendasar pertama adalah ide. Hasto, sekjen PDI Perjuangan itu, menyebutnya sebagai ”the power of idea, the power imagination”. Soekarno adalah man of ideas. Manusia penuh gagasan. Gagasannya tentang kebangsaan, idenya yang mengejawantah menjadi Pancasila, menunjukkan betapa Soekarno selalu digerakkan oleh ide-ide besar. Ide-ide yang lahir dan tumbuh tak hanya dari disiplin dalam bacaan, tapi juga kuat dalam tindakan dan cermat dalam pemikiran serta berakar pada persentuhan Bung Kareno sepanjang hayat dengan kehidupan rakyat.

Dari sekian tempaan sejak masa sekolah, saat Soekarno tinggal di rumah kos HOS Tjokroaminoto di Surabaya, hingga masa kuliah dan pergerakan, kemudian muncul hal mendasar kedua: intellectual leadership atau kepemimpinan intelektual. Kepemimpinan yang digerakkan oleh intelektualitas, akal budi dan nalar mandiri di atas otot kawat tulang besi.

Melalui kepemimpinan intelektual ini, Bung Karno bersinggungan dengan kawan-kawan seperjuangannya: beradu gagasan dan hal-hal ideologis yang pada dasarnya sama-sama merindukan Tanah Air yang merdeka. Kepemimpinan intelektual ini bukan tunggal, namun harus muncul sebagai gerakan kolektif. Sebuah kepemimpinan yang didasari sepakat musyawarah dan gotong royong.

Pertanyaannya: bagaimana menempatkan benturan antargagasan dan gerak kolektif kepemimpinan intelektual dalam satu kesatuan yang utuh, berbeda namun satu tujuan? Di sinilah pentingnya hal mendasar ketiga, yakni menempatkan kepentingan bangsa di atas pribadi dan golongan.

Bung Karno dan para pendiri bangsa ini memiliki latar belakang ideologis yang berbeda-beda. Soekarno sempat beradu gagasan di surat kabar dengan M. Natsir (kelak menjadi Perdana Menteri Indonesia) sejak 1930-an tentang bentuk negara. Gagasan nasionalis yang dilontarkan Bung Karno berhadapan dengan gagasan Islam sebagai landasan negara dari Natsir.

Ideologi Natsir dan Bung Karno bagaikan minyak dan air. Tak bisa disatukan. Bahkan, Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang dipimpin Natsir juga menjadi rival berat Partai Nasional Indonesia yang digerakkan Soekarno. Namun keduanya akhirnya bisa bermufakat pada saat menentukan dasar negara: semuanya karena menempatkan kepentingan bangsa di atas ego pribadi dan golongan.

Gagasan membutuhkan kaki. Dan setiap langkah kaki maupun tindakan membutuhkan nyali. Maka muncullah hal mendasar keempat: keberanian menghadapi risiko. Soekarno tahu perjuangannya untuk Indonesia Merdeka membawa risiko yang membahayakan jiwa. Berkali-kali Indonesia harus diasingkan, termasuk dijebloskan ke penjara Sukamiskin pada 1930. Seorang anak muda harus berani mengambil risiko dan tantangan jika ingin maju dan membawa bangsa ini ke arah perubahan yang lebih baik.

Baca: Ganjar Tegaskan Pemuda Harus Benar-benar Siap

Hal mendasar kelima, sebagaimana Soekarno, anak muda saat ini harus menguasai sarana komunikasi yang membuat kuat di grass root. Sebuah kepemimpinan tidak bisa seperti menara gading yang jauh dari persoalan-persoalan keseharian. Seorang pemipin harus tinggal dan bernapas di tengah rakyat dan berbicara dengan bahasa mereka, sekaligus makan dari piring kehidupan yang sama. Dengan demikian seorang pemimpin bisa memahami dan menyelami penderitaan dan persoalan rakyat.

Memperkuat grass root sangat penting, karena pada dasarnya setiap perjuangan adalah ikhtiar untuk membuat mereka yang selama ini menjadi akar dan rumput dalam kehidupan bisa lebih sejahtera. Seorang pemimpin yang tidak bisa berkomunikasi dengan akar rumput pada dasarnya tengah mengasingkan dirinya sendiri dan menjalani sunyi dalam kekuasaan. Ia kehilangan orientasi dan misi sebagai seorang pemimpin. 

Lima keteladanan Bung Karno yang disampaikan Hasto Kristiyanto ini tentu bukan jalan singkat yang bisa dilakukan dalam semalam. Ini proses panjang yang ditempa berbagai ujian dan membutuhkan kerja keras yang tak mudah dipatahkan.

Quote