Untuk mereka yang tersesat, akan selalu ada kota yang serasa rumah.
Jakarta, Gesuri.id - Kutipan dari novel ”Everything Beautiful Began After” karya Simon van Booy itu rasanya cukup menjelaskan bagaimana Surabaya hadir dan menjadi rumah untuk semua orang.
Akhir-akhir ini kita melihat lagi bagaimana anak-anak dengan perilaku risiko tinggi, seperti korban narkoba dan tawuran, dirangkul oleh Pemkot Surabaya dengan pendidikan asrama, yang dilengkapi keterampilan hidup, mulai berwirausaha, cooking class, membuka kafe kecil-kecilan, hingga beragam olahraga. Pola itu sudah dijalankan bertahun-tahun di Surabaya.
Kisah-kisah kecil yang menunjukkan bahwa ”tak boleh ada satu pun yang tertinggal di belakang”, no one left behind, itulah yang membuat kota dengan besaran ekonomi terbesar kedua di Indonesia dan keenam di Asia Tenggara ini tak pernah gagal menjadi tempat pertemuan semua kisah manusia dan kemanusiaan.
Baca: Ganjar Pranowo Belum Pastikan Maju Pada Pilpres 2029
Raden Wijaya mampu bertahan dan membuat Pasukan Tartar perlahan mundur dari pertempuran, ratusan tahun silam. Lalu dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Surabaya menjadi panggung kisah romansa Annelies dan Minke yang menolak untuk tunduk kepada kekuasaan asing. Perang kota 10 November 1945 telah menjadi klasik, tak hanya karena mengisahkan keberanian, tapi juga keyakinan kepada Tuhan dalam pidato Bung Tomo nan heroik.
Di kota ini bermula perjalanan bersejarah Bung Karno, kiprah Nahdlatul Ulama, Resolusi Jihad yang membuat Sekutu gentar, dan tentu saja Persebaya yang menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme di lapangan hijau. Surabaya, tentu saja, juga menjadi rumah bagi para pembelajar yang tekun dan mereka yang mencari peruntungan hidup bagi keluarga.
Di kota ini, kita menemukan epos dan tragedi, jatuh cinta dan patah hati, pertempuran dan perdamaian. Juga cerita-cerita kecil tentang ibu yang melahirkan anaknya, ayah yang bekerja untuk keluarganya, ibu yang bergegas di pagi buta membuka lapak jualan, guru yang mengajarkan ilmunya, perawat yang bersiaga 24 jam di UGD, pamong praja yang melayani warga, atau juga tentang orang-orang yang masih berharap di tengah hidup yang tak mudah.
Sebuah kota yang berulang tahun adalah sebuah kota yang menyadari bahwa sejarah dibentuk bukan oleh bangunan maupun capaian infrastruktur fisik semata. Sebuah kota yang berulang tahun adalah sebuah kota dengan masyarakat yang menyadari bahwa sejarah dibentuk oleh percakapan maupun tindakan-tindakan warganya yang saling mengulurkan tangan. Juga sejarah yang dibentuk oleh kepemimpinan penuh welas asih, menjaga tradisi, sekaligus visioner dalam menata kota sejak era Wali Kota Bambang DH, Tri Rismaharini, Whisnu Sakti Buana, dan kini Eri Cahyadi.
Baca: Ganjar Pranowo Belum Pastikan Maju Pada Pilpres 2029
Surabaya adalah kota yang dibentuk oleh kisah-kisah warganya yang datang dari beragam latar belakang, menjadi “melting pot”, sebuah fakta sosiologi yang diterima dengan kegembiraan. Surabaya terakumulasi menjadi bagian dari sejarah penting perjalanan republik—Bung Karno menjulukinya sebagai ”dapur nasionalisme”.
Dari kampung-kampung yang kini ditata, dari taman-taman kota dan alun-alun, serta dari sebuah tugu peringatan yang tegak menjulang, kita menemukan percakapan tentang kemarin, hari ini, dan esok. Ruang-ruang publik menjadi ruang pertemuan dan perbincangan antarwarga kota, tanpa harus berteriak dan menghardik. Percakapan yang menciptakan kesepahaman untuk hidup bersama. Mungkin itu pula yang membuat Surabaya menua, tapi tak lemah.
Jadi, apa yang patut dirayakan dari sebuah kota yang berulang tahun seperti Surabaya? Mungkin harapan. Sebuah kota yang menua tanpa harapan tak ubahnya sebuah api yang menyala di atas kayu yang kian lapuk dan akhirnya padam. Maka harapan yang diwujudkan dalam doa tulus dan kerja keras akan membuat Surabaya tak akan pernah benar-benar mati.
Kota ini seperti mesin waktu berusia 732 tahun, kota yang digerakkan oleh preservasi sekaligus inovasi, yang bergerak maju, menatap masa depan, dengan akar sejarah nan panjang.
Dirgahayu, Surabaya!