Ikuti Kami

Banjir Sumatera dan Komitmen Keberlanjutan

Oleh: Mahasiswa Doktoral Ilmu Manajemen, Universitas Sumatera Utara/ Anggota DPR RI, Marinus Gea.

Banjir Sumatera dan Komitmen Keberlanjutan

Jakarta, Gesuri.id - Indonesia kembali berduka, banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat telah menewaskan 914 jiwa, melukai lebih dari 4.200 orang, dan menyebabkan 835 ribu warga mengungsi di 50 kabupaten/kota. 

Bencana ini disebabkan curah hujan ekstrem hingga 300 mm/hari ditambah siklon tropis Senyar. Bencana alam ini menjadi yang paling mematikan sejak tsunami Sulawesi  2018, dengan kerusakan masif pada 3,5 ribu rumah, 271 jembatan, serta 31 rumah sakit dan 156 puskesmas. 

Tragedi ini bukan semata musibah alam, melainkan akumulasi kelalaian manusia yang memperburuk kerentanan ekologis wilayah.

Menurut Data Kementerian kehutanan yang dipaparkan oleh Menhut Raja Juli di Komisi IV DPR RI, sejak tahun 2020 hingga September 2025 luas deforestasi Indonesia mencapai 905.700 hektar are (Ha). Dalam lima tahun terakhir deforestasi di Aceh meningkat sebesar 426,59% (10.100 Ha), Sumatera Utara 398.13% (4.909 Ha), dan Sumatera Barat sebesar 637,08% (4.931 Ha). 

Walhi mengungkapkan, selama periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta Ha hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM. Menteri Kehutanan sudah menyatakan akan mengevaluasi izin penggunaan lahan dan pengelolaan hutan. 

Hal ini menunjukkan kurangnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan dan sosial. Kegiatan usaha seharusnya tidak hanya fokus pada profitabilitas, akan tetapi juga perlu memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat dan aspek keberlanjutan atau yang populer dengan istilah sustainability.

Konsep Sustainbility dan Triple Bottom Line

John Elkington, pada tahun 1994 menentang pandangan lama dunia bisnis yang hanya berorientasi pada profit tanpa mempertimbangkan kesejahteraan sosial dan kelestarian alam. Dari sanalah muncul konsep Triple Bottom Line (TBL) yang terdiri dari People, Planet, dan Profit, tiga dimensi yang harus berjalan beriringan
agar bisnis bisa disebut berkelanjutan.

Menurut konsep ini, perusahaan dituntut untuk tidak hanya berfokus pada profit, tetapi juga berkontribusi pada people (manusia) dan planet (lingkungan). 

Dengan menerapkan triple bottom line of sustainability, perusahaan berupaya meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial sambil membatasi dampak pada lingkungan dan daya dukung alam. Seiring waktu, konsep TBL berkembang menjadi fondasi berbagai kerangka kerja keberlanjutan modern seperti ESG (Environmental, Social, and Governance) dan GRI (Global Reporting Initiative).

Sustainabilty merupakan landasan bagi kerangka kerja global terdepan untuk kerja sama internasional saat ini. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan dengan tujuan memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang (Brundtland, 1987). 

Dalam dunia bisnis modern, sustainability bukan lagi sekadar tata kelola hijau, melainkan telah menjadi penentu arah dan reputasi sebuah perusahaan. Studi menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan tata kelola lingkungan yang baik sering kali menikmati nilai pasar yang lebih tinggi (Clarkson et al., 2011).

Konsep sustainability sendiri mencakup serangkaian aturan, kebijakan, dan praktik yang bertujuan untuk mengelola dan mengawasi dampak ekonomi, sosial,  dan lingkungan dari aktivitas manusia. Konsep ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga sektor swasta/perusahaan dan masyarakat sipil, untuk bersama-sama berperan dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kapasitas lingkungan. 

Banyak perusahaan kini mulai melaporkan bukan hanya kondisi finansialnya, tapi juga dampak sosial dan lingkungannya secara transparan.

Peran Pemerintah dalam Mewujudkan Perusahaan yang Sustainable

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas kelestarian dan keberlanjutan. Asas ini sejalan dengan Visi Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan program pembangunan berkelanjutan yang disusun negara-negara anggota PBB pada 2015, diharapkan tercapai pada 2030. Sebagai anggota PBB, pada tahun 2030 Indonesia harus berhasil mewujudkan SDGs. 

Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan membuat perusahaan lebih sustainable. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) telah mengatur mengenai kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).

UU PT mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang dan/atau yang berdampak pada lingkungan dan sumber daya alam untuk melaksanakan TJSL sebagai bagian dari kegiatan usaha mereka. POJK 51/POJK.03/2017 mewajibkan perusahaan jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk menyusun laporan keberlanjutan.

Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk mendorong peran perusahaan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan melalui kontribusinya terhadap kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan.

Di Indonesia kewajiban penyusunan laporan keberlanjutan masih terbatas pada perusahaan yang listing di BEI. Sedangkan berdasarkan UU PT, perseroan terbatas wajib melaksanakan TJSL dan apabila tidak melaksanakan, akan dikenai sanksi sesuai aturan perundang-undangan. Akan tetapi sanksinya tidak dinyatakan secara tegas dan jelas. Berbagai aturan perundang-undangan terkait seperti: UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; UU PT; PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; serta Peraturan Menteri BUMN Nomor 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan Keputusan Menteri BUMN Nomor 236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, regulasi sanksi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL tidak dijelaskan. 

Sanksi tidak melaksanakan corporate social responsibility (CSR) hanya diatur tegas dalam Pasal 34 UU Tentang Pasar Modal. Sanksi tersebut menyangkut sanksi administratif yang harus dipatuhi apabila tidak melaksanakan CSR. Di sini terlihat kurang jelasnya regulasi di Indonesia mengenai TJSL. Padahal pelaksanaan
TJSL sangat penting sebagai komitmen perusahaan dalam mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan.

Penutup

Banjir di Sumatera telah membuka mata kita akan pentingnya penerapan praktik keberlanjutan. Sebelum lebih jauh membahas bagaimana praktik keberlanjutan dilakukan oleh perusahaan. Pemerintah hendaknya terlebih dahulu menyusun kerangka hukum yang tegas dan jelas terkait pelaksanaan praktik keberlanjutan oleh perusahaan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan tidak mengorbankan kepentingan jangka panjang seperti kerusakan lingkungan yang berdampak pada kerugian yang lebih besar. 

Akibat kegiatan ekonomi yang hanya menguntungkan perusahaan dan segelintir stakeholder, masyarakat dan ekosistem menjadi korban. Dampak tersebut telah telihat saat ini, dengan kejadian yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Bila pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, maka mungkin saja kejadian serupa, bahkan lebih buruk lagi akan menimpa wilayah lain. Pemerintah hendaknya tidak hanya melakukan tindakan represif, akan tetapi juga antisipatif untuk mencegah kejadian serupa terulang. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang relevan serta edukasi terhadap masyarakat untuk mensosialisasikan pentingnya memelihara kelestarian lingkungan.

Musibah ini hendaknya menjadi momentum bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk bersinergi dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Quote