Ikuti Kami

London Stock Exchange Tua Bukan Berarti Juara

Oleh: Dr. Harris Turino, S.T., S.H., M.Si., M.M. - Kapoksi PDI Perjuangan Komisi XI DPR RI

London Stock Exchange Tua Bukan Berarti Juara
Dr. Harris Turino, S.T., S.H., M.Si., M.M. - Kapoksi PDI Perjuangan Komisi XI DPR RI.

Jakarta, Gesuri.id - London Stock Exchange (LSE) memang tercatat sebagai pasar saham tertua di dunia. Sejarahnya bermula di sebuah kedai kopi bernama Jonathan’s Coffee House di London, tempat para pedagang dan pialang berkumpul sejak tahun 1698 untuk memperjualbelikan saham dan komoditas. Dua abad lalu, pada tahun 1801, LSE berdiri secara resmi dengan tata kelola dan aturan perdagangan yang lebih rapi. Saat itu, Amerika Serikat baru berusia 25 tahun dan masih sibuk menyelesaikan konflik internal antarnegaranya.

Namun meski punya sejarah panjang, hari ini LSE hanya berada di posisi ketujuh dalam daftar bursa saham terbesar dunia jika dilihat dari kapitalisasi pasar. Nilainya sekitar USD 3–4 triliun, kalah jauh dibanding New York Stock Exchange yang mencapai USD 25 triliun. Bahkan bursa saham Hong Kong, Tokyo, dan Shanghai kini melampauinya.

Tetapi jangan salah, LSE tetap punya posisi istimewa di panggung global.

Baca: Ganjar Beberkan Penyebab Kongres PDI Perjuangan Belum Digelar

Pertama, LSE adalah rumah bagi perusahaan-perusahaan asing. Ini adalah bursa dengan jumlah entitas lintas negara terbanyak yang tercatat di dalamnya. Banyak perusahaan dari Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Timur Tengah menjadikan LSE sebagai tempat listing sekunder karena kredibilitasnya, koneksi ke investor internasional, dan tingkat transparansi yang tinggi.

Kedua, struktur pasar LSE sangat fleksibel. Terdapat dua papan pencatatan utama: Main Market untuk korporasi besar yang memenuhi syarat ketat, serta Alternative Investment Market (AIM) yang lebih longgar dan ramah untuk perusahaan kecil dan berkembang. AIM ini menjadi magnet tersendiri bagi startup dan perusahaan teknologi dari berbagai penjuru dunia.

Ketiga, dan yang cukup visioner, LSE adalah pelopor dalam mengintegrasikan pasar karbon sukarela (Volunterary Carbon Market Frameworks). Pada tahun 2022, LSE menjadi bursa pertama yang meluncurkan kerangka pencatatan khusus untuk perusahaan atau dana yang bergerak di sektor proyek dekarbonisasi. Langkah ini menempatkan LSE di garis depan transisi keuangan hijau dan investasi berkelanjutan.

Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Demokrasi Harus Dirawat Dengan Baik!

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia patut berbangga karena Indonesia Stock Exchange (IDX) adalah bursa terbesar di Asia Tenggara, dengan kapitalisasi pasar sekitar USD 750 miliar. Tidak buruk. Namun jika dibandingkan dengan besaran Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia, rasio kapitalisasi pasar kita terhadap ukuran ekonomi masih terbilang rendah dibandingkan negara-negara maju.

Tantangan sesungguhnya justru berada di pasar obligasi, terutama di sisi sekunder. Hingga kini, pasar utang masih terlalu bergantung pada instrumen primer seperti surat utang negara dan SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia). Dengan imbal hasil SRBI yang mencapai 6%, sulit bagi surat utang korporasi, yang risikonya lebih tinggi, untuk bersaing menarik minat investor.

Penutup

Di dunia keuangan, usia tua bisa menjadi nilai historis, tapi bukan jaminan kejayaan. London Stock Exchange membuktikan bahwa adaptasi, keterbukaan, dan inovasi adalah kunci untuk tetap relevan. Indonesia pun bisa belajar dari sini, bahwa kekuatan pasar tidak hanya ditentukan dari seberapa besar hari ini, tapi dari seberapa jauh kita siap membuka jalan untuk masa depan.

Quote