Jakarta, Gesuri.id - Jika ada pertanyaan tentang sebuah kota yang layak disebut menjadi takdir intelektual Sukarno, Surabaya mungkin adalah jawaban yang tepat. Sukarno memang memperoleh gelar insinyurnya di Bandung. Namun intelektualitas Sukarno dibentuk bukan oleh deretan angka, rumus-rumus eksakta, dan ilmu ukur. Surabaya membentuk nalar kebangsaan yang kelak dirumuskannya sendiri sebagai Indonesia Merdeka.
Sukarno sangat bangga dilahirkan di Surabaya. Kota ini mendefinisikan hidupnya, dan dengan nada bersemangat kepada Cindy Adams, penulis buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, dia menyamakan Surabaya dengan New York. Ini sebuah kota pelabuhan. Pusat perdagangan. Kota kaum pekerja. Dan yang terpenting adalah kota ini bergolak dengan ketidakpuasan dari orang‐orang revolusioner.
Tak hanya tempat lahir, Surabaya adalah persenyawaan ideologi hidup Bung Karno. Menjadi bagian dari sejarah perjuangan Bung Karno dalam memerdekakan bangsanya.
Takdir itu menjemput Sukarno di sebuah kampung bernama Peneleh, kampung padat dan terlalu sempit untuk dilewati mobil, di rumah milik Haji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam. “Tjokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oleh Belanda sebagai ‘Raja Jawa yang tidak dinobatkan’,” kata sang ayah, Raden Soekemi, kepada Bung Karno.
Baca: Ganjar Beberkan Penyebab Kongres PDI Perjuangan Belum Digelar
Sukarno menemukan makna tirakat di rumah ini. Kamar indekos yang disewanya sebelas rupiah tidak berjendela. Di dalam sangat gelap, sehingga Sukarno terpaksa menghidupkan lampu pelita terus‐menerus sekalipun di siang hari. Tidak ada kasur. Tiada bantal.
Sekolah Sukarno, HBS, tidak jauh dari rumah kos itu. Dia terbiasa membonceng salah seorang kawan atau berjalan kaki untuk berangkat dan pulang ke sekolah, sampai hasil tabungannya cukup untuk membeli sepeda Fongers yang hitam mengkilat, sepeda keluaran Belanda. Sepeda yang kemudian tak bertahan lama, karena Harsono, anak Tjokro, menghantamkannya ke sebuah pohon kayu.
Dari Tjokro, Sukarno menemukan suri teladan. Bahkan dia menyebut dirinya murid Tjokro, belajar dari Tjokro, menyerap pemikirannya, dan membaca buku-buku miliknya. Dari Tjokro pula, ia belajar berpidato.
Kepiawaian Sukarno berpidato ditunjukkan pada saat pertemuan Studieclub, suatu kelompok yang disebutnya ‘sebagai pengajaran tambahan dan bertujuan untuk membahas buah-buah pikiran dan cita‐cita’.
Usia Sukarno saat itu baru belasan tahun ketika berpidato tentang pentingnya kebanggaan terhadap bahasa nasional. “Mengapa suatu negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasai suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan yang kuat itu?”
Sukarno memungkasi pidatonya dengan kalimat menohok. “Saya berpendapat, bahwa yang harus kita kuasai pertama‐tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu,” katanya.
Identifikasi terhadap gagasan-gagasan besar kebangsaan pada pemikiran Bung Karno tentu saja merupakan akumulasi reflektif yang berasal dari bacaan-bacaan bermutu yang dilahapnya dalam usia yang sangat belia. Buku-buku di rumah Tjokro. Juga di perpustakaan di Surabaya yang dibangun oleh Perkumpulan Theosofi. Dari sana, Sukarno mengenal George Washington, mendalami perjalanan Paul Revere, berhadapan dengan William Ewart Gladstone dari Britania Raya, Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris, dengan Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia, Otto Bauer dan Adler dari Austria, Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin, serta Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, hingga Jean Jaures dari Prancis.
Dari buku-buku, Sukarno menyerap pengetahuan teoritis, yang kemudian didedikasikan dalam gerakan-gerakan politik untuk Ibu Pertiwi—Bung Karno teringat kalimat pemikir India, Swami Vivekananda, ”Jangan bikin kepalamu seperti perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan.”
Sementara itu, pengetahuan praktis politik diunduhnya dengan cara mengikuti pertemuan-pertemuan Sarekat Islam dan tokoh politik lintas ideologi di rumah Tjokro. “Kadang‐kadang kubagi tempat tidurku dengan salah seorang pemimpin itu dan minum dari mata air keahlian mereka hingga waktu fajar,” kata Bung Karno, dikutip Cindy Adams.
Rumah Tjokroaminoto menjadi semacam pertemuan tiga kutub besar pemikiran di masa itu: Islamisme, Nasionalisme, Komunisme. Ada Kartosuwiryo yang kelak menjadi tokoh Darul Islam. Ada Semaun yang di kemudian hari kita kenal sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia. Ada Alimin, Muso, dan sebagainya. Juga tentu Tjokro sendiri yang dikenal dengan pemikirannya dalam buku “Islam dan Sosialisme”.
Di sinilah kesadaran kebangsaan Sukarno dibentuk. Pencerahan datang dari lontaran-lontaran dalam pertemuan di rumah bersejarah itu. “Aku menghirup lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur daripada nasionalisme,” kata Bung Karno.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Demokrasi Harus Dirawat Dengan Baik!
Kemampuan dan bakat orasi Bung karno juga digembleng di Peneleh. Tjokroaminoto beberapa kali memintanya berpidato dalam pertemuan-pertemuan kecil, dan muncul pidato heroik ini. “Penjajah hanya mau memetik hasilnya. Ya, mereka menyuburkan bumi kita ini. Betul! Akan tetapi tahukah saudara dengan apa mereka menyuburkan bumi kita ini?… Bumi kita ini mereka suburkan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan dari rakyat kita yang mati karena kelaparan, kerja keras dan hanya tinggal tulang-belulang!”
Di HBS, Sukarno menghadapi kenyataan bahwa bangsanya didiskriminasi. Gambar cat air yang dikerjakannya di ruang kelas dipuji oleh gurunya. Namun nilainya tidak pernah melampaui pelajar Belanda. Ada pameo: nilai 10 adalah untuk Tuhan, 9 untuk profesor, 8 untuk anak yang luar biasa, 7 untuk Belanda, dan 6 untuk anak Bumiputera.
Pemikiran tentang nasionalisme dan nasib bangsa Indonesia dituangkan Sukarno di
“Oetoesan Hindia”, sebuah majalah milik Tjokro, dengan menggunakan nama samaran Bima, tokoh dalam epos Mahabharata. Lebih dari lima ratus artikel karyanya dimuat di sana.
Kelak, Tjokroaminoto berkata kepada seluruh keluarganya pada suatu malam. “Ikutilah anak ini. Dia diutus Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinya tempat berteduh di rumahku.”
Surabaya, 10 Juni 1921. Sukarno lulus dari HBS. Dan perjalanan panjangnya dimulai dari kota ini. Perjalanan panjang yang menjadi bagian dari takdir sebuah bangsa yang tengah dalam pencarian: Indonesia.