Jakarta, Gesuri.id - Ketika memaparkan APBN Kita di pertengahan bulan Desember 2025, dengan gaya bahasa yang khas, Menteri Keuangan Purbaya tetap menyuarakan optimisme bahwa kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berjalan on-track dan dioptimalkan untuk mendukung program prioritas serta katalis pertumbuhan ekonomi. Optimisme pada kadar tertentu dibutuhkan di tengah kondisi perekonomian yang harus diakui tidak sepenuhnya baik-baik saja.
Tahun anggaran 2025 memang menjadi periode yang penuh tekanan bagi penerimaan perpajakan Indonesia. Perlambatan perdagangan global, normalisasi harga komoditas, serta ketidakpastian geopolitik dan moneter internasional membatasi kinerja ekspor dan menahan pemulihan ekonomi domestik. Di dalam negeri, konsumsi rumah tangga dan aktivitas manufaktur belum menunjukkan akselerasi yang cukup kuat. Kondisi tersebut secara langsung mempersempit basis pajak dan menekan kinerja penerimaan negara.
Hingga Nopember 2025, realisasi penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp1.903,9 triliun, atau sekitar 76,4 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp2.490,9 triliun. Capaian ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang telah mencapai hampir 90 persen, sehingga menimbulkan sinyal kuat potensi shortfall hingga akhir tahun. Dari total tersebut, penerimaan pajak sebagai komponen utama baru terealisasi Rp1.634,4 triliun atau sekitar 78,6 persen dari outlook. Sementara penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp269,4 T dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp444,9 T.
Tekanan penerimaan terlihat jelas pada pos-pos pajak strategis. Pajak Penghasilan Badan terkontraksi sebesar 9,6 persen secara tahunan, mencerminkan pelemahan kinerja dunia usaha, terutama di sektor berbasis komoditas. Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 mengalami kontraksi lebih dalam, yakni minus 12,8 persen, sejalan dengan tertahannya pertumbuhan pendapatan dan konsumsi masyarakat. Sementara itu, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM tercatat melambat hingga minus 10,3 persen, menunjukkan lemahnya aktivitas konsumsi dan produksi domestik.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Marsinah Lebih Layak
Dari sisi eksternal, koreksi harga komoditas sepanjang 2025 menjadi faktor penekan utama. Harga batu bara turun sekitar 12 hingga 20 persen secara tahunan, harga crude palm oil terkontraksi sekitar 11 persen, dan harga nikel mencatat pertumbuhan negatif sekitar 6 persen. Penurunan harga ini menekan nilai ekspor nasional dan berdampak langsung terhadap penerimaan PPh 22 ekspor, PPN ekspor, serta basis PPh Badan dari sektor sumber daya alam.
Di dalam negeri, pemulihan konsumsi berjalan terbatas. Pada Triwulan III 2025, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sekitar 4,9 persen secara tahunan, relatif stagnan dibandingkan periode sebelumnya. Moderasi konsumsi ini berkontribusi pada perlambatan PPN dalam negeri, sementara PPN impor juga belum menunjukkan akselerasi akibat ketidakseimbangan kinerja ekspor dan impor.
Selain faktor siklikal, kinerja penerimaan 2025 juga dipengaruhi oleh faktor struktural dan kelembagaan, khususnya masa transisi implementasi Core Tax Administration System. Tahun 2025 menjadi fase krusial integrasi sistem administrasi perpajakan digital yang menggantikan sistem lama. Proses migrasi data, penyesuaian pengolahan Surat Pemberitahuan, serta integrasi modul penagihan dan pemeriksaan membawa dampak sementara berupa tertundanya pencatatan dan pelaporan setoran pajak. Secara kumulatif, penerimaan pajak neto hingga Nopember 2025 tercatat terkontraksi sekitar 2,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tekanan penerimaan pada 2025 membawa implikasi strategis bagi fiskal 2026. Pemerintah menetapkan target penerimaan perpajakan 2026 sebesar Rp2.693,7 triliun, meningkat sekitar 8,1 persen dibandingkan target APBN 2025, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 2,5 persen, dan nilai tukar Rp16.500 per dolar AS. Namun, kinerja historis menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan Indonesia sangat sensitif terhadap siklus ekonomi dan harga komoditas.
Dalam periode 2018–2020, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 93,86 persen, 86,55 persen, dan 91,50 persen dari target. Lonjakan realisasi pada 2021–2022 terutama didorong oleh windfall harga komoditas, bukan oleh penguatan basis pajak yang berkelanjutan. Ketika dorongan tersebut mereda, realisasi 2023 dan 2024 kembali mengalami normalisasi di kisaran 101,69 persen dan 100,61 persen. Pola ini menegaskan masih tingginya ketergantungan penerimaan terhadap faktor eksternal yang bersifat sementara.
Baca: Ganjar Ingatkan Anak Muda Harus Jadi Subjek Perubahan
Dengan konsumsi dan manufaktur yang belum pulih kuat pada 2025, target perpajakan 2026 yang lebih tinggi membutuhkan basis pajak yang jauh lebih solid, terutama dari PPN dalam negeri dan PPh Badan. Tanpa pembenahan struktural, risiko deviasi penerimaan pada 2026 akan tetap tinggi, meskipun asumsi makro menunjukkan outlook yang relatif positif.
Tekanan shortfall 2025 dengan demikian tidak hanya memengaruhi kinerja fiskal tahun berjalan, tetapi juga menentukan kemampuan APBN 2026 dalam menjaga kesinambungan fiskal, stabilitas belanja prioritas, serta ruang respons kebijakan terhadap potensi guncangan ekonomi.
Rekomendasi Kebijakan yang Dipadatkan
Mencermati kondisi yang dipaparkan di atas maka fungsi pengawasan Komisi XI DPR RI memegang peran strategis. Dalam menghadapi tekanan tersebut, mitigasi risiko penerimaan perlu difokuskan pada penguatan basis pajak dan efektivitas administrasi, bukan pada penambahan beban di tengah perlambatan ekonomi. Pengawasan atas realisasi penerimaan perlu diperkuat secara lebih granular dan berbasis sektor untuk memastikan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi berjalan tepat sasaran.
Perluasan basis pajak harus dikawal melalui pemanfaatan data dan integrasi antar-instansi, bukan melalui kenaikan tarif atau kewajiban administratif baru. Reformasi administrasi perpajakan pasca implementasi sistem digital terintegrasi perlu dimonitor secara ketat, terutama terkait stabilitas sistem, keamanan data, kesiapan sumber daya manusia, dan pemanfaatan analitik risiko. Pada saat yang sama, pengelolaan risiko fiskal dan strategi pembiayaan harus diarahkan agar potensi shortfall tidak mendorong peningkatan utang dan biaya bunga secara tidak terkendali, sehingga kredibilitas fiskal dan ruang belanja prioritas pada APBN 2026 tetap terjaga.

















































































