Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, I Nyoman Adi Wiryatama, menyoroti ketimpangan kesejahteraan yang dialami petani di Kawasan Jatiluwih, Tabanan, meski wilayah tersebut telah menyandang status Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Ia menegaskan Jatiluwih tidak boleh berkembang hanya untuk investor sementara para petani tetap berada dalam lingkaran kemiskinan.
“Mendapatkan predikat World Heritage memerlukan usaha yang panjang. Dari zaman saya Bupati 2000–2010, beberapa kali kita gagal di UNESCO. Dan baru di era Bu Eka, Jatiluwih ditetapkan jadi World Heritage,” kata Adi, dikutip pada Minggu (7/12/2025).
Dengan pengalaman panjang sebagai mantan Bupati Tabanan dua periode dan Ketua DPRD Bali, Adi Wiryatama memahami proses panjang yang telah dilalui sebelum UNESCO menetapkan Subak Jatiluwih sebagai warisan dunia pada 2012. Status tersebut membawa Jatiluwih menjadi destinasi kelas dunia yang digemari wisatawan mancanegara maupun domestik.
Namun, menurutnya, perkembangan pesat sektor pariwisata justru memunculkan persoalan baru. Ia menilai gelombang investasi setelah penetapan UNESCO berkembang terlalu cepat dan tidak terkontrol. Restoran, kafe, vila hingga resort bermunculan tanpa seluruhnya mematuhi aturan tata ruang dan pedoman pelestarian kawasan.
“Investor bangun restoran, vila, banyak yang bermunculan dan tidak memperhatikan aturan yang ada. Di sisi lain, banyak petani kita di sana yang lestari miskinnya,” tegasnya.
Adi Wiryatama mengingatkan bahwa Subak adalah sistem budaya adi luhung yang menjunjung gotong royong, harmoni, serta kesetaraan. Jika petani sebagai pusat sistem ini terpinggirkan, maka kelestarian Jatiluwih akan ikut terancam. Ia menegaskan bahwa kemiskinan petani tidak boleh menjadi sesuatu yang “dilestarikan” di balik gemerlap wisata.
“Warisan alam dan budaya Subak wajib kita lestarikan, tetapi kemiskinan tidak boleh lestari,” tuturnya.
Ia memperingatkan bahwa tanpa langkah serius, Jatiluwih hanya akan menjadi “panggung estetika” tanpa jiwa budaya yang sesungguhnya. Petani yang selama ratusan tahun menjaga sistem Subak justru tidak merasakan manfaat proporsional dari booming pariwisata.
Karenanya, ia meminta seluruh stakeholder — pemerintah daerah, pengelola daya tarik wisata, investor, tokoh adat, dan masyarakat lokal — segera duduk bersama merumuskan solusi konkret yang berkeadilan.
“Saya harap semua stakeholder di sana bisa duduk bersama pemerintah, investor, dan masyarakat—mencari solusi agar warisan budaya tetap ajeg dan semua pihak dapat asas manfaat, satisfy to all apart,” ujarnya.
Adi Wiryatama menekankan pentingnya regulasi yang jelas serta pengawasan ketat, termasuk pada tata ruang, kontribusi wajib kepada desa adat, dan pembatasan pembangunan yang dapat merusak kontur alam Subak Jatiluwih.
Ia menegaskan bahwa predikat World Heritage bukan sekadar prestise global, melainkan harus membawa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat lokal, terutama petani yang menjadi aktor utama di balik keberlanjutan sistem Subak.
Baginya, Jatiluwih adalah kebanggaan nasional yang harus dijaga bersama, di mana kemajuan pariwisata tidak boleh meninggalkan rakyat sebagai penonton di tanahnya sendiri.

















































































