Ikuti Kami

Adian Minta Ketua BEM SI Baca Penculikan-Pembunuhan Era Orba

Ketua BEM SI memutarbalikkan fakta sejarah dengan mengatakan bahwa di era orde baru 'kita memperoleh kebebasan dan kesejahteraan'.

Adian Minta Ketua BEM SI Baca Penculikan-Pembunuhan Era Orba
Ilustrasi. Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Adian Napitupulu (kiri), Ketua BEM SI Kaharuddin (kanan).

Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Adian Napitupulu meminta Ketua BEM SI Kaharuddin membaca insiden penculikan hingga pembunuhan terhadap sejumlah mahasiswa yang tidak jelas nasibnya sampai saat ini. 

Menurutnya masih banyak tragedi lain yang membuktikan tidak ada kebebasan saat orde baru.

Baca: Adian Heran Orang Takut Pemilu 2024 Ditunda, Itu Imajinasi

"Ketua BEM SI baca juga bagaimana 13 mahasiswa yang diculik dan tidak jelas bagaimana nasibnya hingga hari ini. Atau bagaimana Moses Gatot Kaca dibunuh di Yogya dan 4 mahasiswa Trisakti ditembak tahun 1998. Masih ada ratusan peristiwa lainnya yang bisa dipaparkan yang membuktikan betapa di zaman Orde Baru sama sekali tidak ada kebebasan," ujar anggota Komisi VII DPR RI itu, Senin (18/4), menanggapi Ketua BEM SI Kaharuddin yang menyebut masyarakat dapat memperoleh kebebasan dan kesejahteraan di era orde baru (orba).  

Untuk itu, Adian yang juga aktivis 98 menegaskan tidak ada kebebasan di zaman orde baru.

"Saya sedih ketika kebebasan berbicara yang diperjuangkan itu kemudian digunakan oleh Ketua BEM SI justru untuk memutarbalikkan fakta sejarah dengan mengatakan bahwa di era orde baru 'kita memperoleh kebebasan dan kesejahteraan kita punya'," kata Adian.

Adian awalnya menjelaskan argumennya terkait tidak ada kebebasan di era Orde Baru. Ia membeberkan sejumlah tragedi, dari tragedi 1965, tragedi Tanjung Priok 1984, penembakan misterius, hingga pembredelan sejumlah media di Indonesia.

"Tentang kebebasan, baiknya Ketua BEM SI baca dulu berbagai peristiwa terkait tragedi 65, tragedi tanjung Priok 84, tragedi 27 Juli 1996, tragedi penembakan misterius, pembredelan media Tempo, Tabloid Detik, Editor, Sinar Harapan, Jakarta Times, Indonesia Raya, dan sekitar 50-an media lain yang dibredel sejak 1966 hingga tahun 90-an. Perlu juga mereka melihat bagaimana AM Fatwa karena membuat buku putih Tanjung Priok kemudian divonis 18 tahun penjara," ujarnya.

"Ada juga kasus Bitor Suryadi aktivis mahasiswa yang divonis penjara 4 tahun karena aksi menolak kenaikan tarif listrik Rp 50. Ada lagi kasus April Makassar berdarah 1996 yang membuat 3 mahasiswa meninggal dunia saat aksi menolak kenaikan tarif angkutan umum. Atau peristiwa Marsinah, seorang buruh perempuan yang meninggal dibunuh hanya karena menuntut upah naik Rp 1.500. Ada kasus 27 Juli 1996 terkait penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro 58. Tragedi Udin Bernas, wartawan yang dibunuh karena tulisan pemberitaannya di media, ada banyak nama ratusan yang ditangkap oleh orde baru, diantaranya Hariman Siregar hingga Fadjroel Rachman Rahman," kata Adian.

Baca: Anies Memalukan, 132 Ribu Lebih Warga DKI Miskin Ekstrem

Lebih lanjut, Adian menekankan kebebasan yang dimiliki publik, termasuk mahasiswa dan BEM SI, merupakan perjuangan dari masyarakat dan para aktivis 98. 

"Kebebasan berorganisasi, kebebasan demonstrasi, kebebasan berbicara yang saat ini dirasakan oleh ketua BEM SI termasuk bebasnya media media massa meliput aksi-aksi merupakan buah kebebasan yang diperjuangkan oleh aktivis '98," imbuhnya. Dilansir dari detikcom.

Quote