Ikuti Kami

Biaya Politik Mahal Dorong Korupsi: Giri Suprapdiono Ingatkan Perlunya Reformasi Sistemik

Ia menyebut situasi politik hari ini berada dalam jebakan yang ia istilahkan “konoha"

Biaya Politik Mahal Dorong Korupsi: Giri Suprapdiono Ingatkan Perlunya Reformasi Sistemik
Mantan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono - Foto: DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id – Mantan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono menyoroti akar persoalan korupsi di Indonesia yang menurutnya tidak dapat dilepaskan dari mahalnya biaya politik, lemahnya integritas, serta meningkatnya permisivitas masyarakat terhadap praktik transaksional. Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Nasional Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA) di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (9/12).

Dalam paparannya, Giri menyampaikan tiga materi utama: politik, pendidikan antikorupsi, dan kepemimpinan. Ia menyebut situasi politik hari ini berada dalam jebakan yang ia istilahkan “konoha”—sebuah metafora yang mencerminkan banyaknya masalah tersembunyi yang membuat publik takut menyampaikan kebenaran. “Di balik masalah bangsa kita, banyak yang tahu tapi takut bicara. Itulah penyakit yang harus dibenahi,” ujarnya.

Giri juga menyinggung proses kaderisasi dan seleksi politik yang menurutnya sudah berjalan baik di PDI Perjuangan, namun tetap perlu dievaluasi. “Kader bagus itu bukan hanya lahir dari proses sembilan tahun. Tahun ke-10 pun harus tetap teruji,” katanya disambut tawa peserta.

Masuk pada persoalan inti, Giri memaparkan fenomena biaya politik yang kian tak rasional, terutama dalam Pilkada. Ia mencontohkan bahwa untuk memenangkan posisi kepala desa saja, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. “Di beberapa daerah, satu suara dihargai hingga satu juta. Kalau butuh 1.500 suara, berarti harus siapkan Rp1,5 miliar. Padahal gaji kepala desa tidak sebanding,” tegasnya.

Menurut Giri, situasi tersebut melahirkan lingkaran setan korupsi. Mereka yang sudah mengeluarkan biaya besar cenderung mencari cara untuk mengembalikan uang yang dibelanjakan. “Ujung-ujungnya duit. Woy—uang, uang, uang. Korupsi muncul karena tekanan ekonomi dalam politik,” jelasnya.

Ia menyebut dua solusi yang harus berjalan beriringan: reformasi sistem politik dan penguatan integritas politisi. Dari survei yang pernah ia lakukan, kandidat bupati/wali kota rata-rata mengeluarkan biaya kampanye Rp20–30 miliar, sementara kandidat gubernur bisa menghabiskan Rp20–100 miliar. “Kalau mau maju Pilkada, siapkan itu. Itu pun belum termasuk ongkos operasional kampanye,” ungkapnya.

Giri juga menyoroti tren masyarakat yang semakin permisif terhadap praktik politik uang. Survei menunjukkan semakin banyak warga yang menganggap serangan fajar sebagai hal wajar. “Ada daerah yang bahkan memasang spanduk: ‘Menunggu Serangan Fajar’. Ini bahaya. Ketika masyarakat permisif, korupsi akan semakin subur,” katanya.

Mengakhiri paparannya, Giri menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak cukup mengandalkan hukum, tetapi harus disertai perubahan struktur pembiayaan politik, pendidikan integritas, dan keteladanan kepemimpinan. “Sistem harus dibenahi, politisi harus berintegritas, masyarakat juga harus cerdas. Kalau tidak, kita akan terus-terusan kena prank,” pungkasnya disambut tepuk tangan peserta.

Quote