Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus menyoroti kasus dugaan pencemaran Sungai Malinau oleh PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) yang berulang. Ia menyebut kasus itu sebagai kejahatan lingkungan yang seharusnya dikenai sanksi pidana, bukan sekadar sanksi administratif.
"Kejadian pencemaran Sungai Malinau hampir setiap tahun terjadi tanpa penegakan hukum yang jelas. Tiga tahun lalu, saat tanggul besar jebol, perusahaan sempat dikenai sanksi penutupan operasi. Tapi, tak ada satu pun karyawan atau manajemen yang dikenai pidana pencemaran lingkungan," ujar Deddy, Sabtu (10/5/2025).
Deddy menilai PT KPUC seolah kebal hukum. "Pemilik dan perusahaan ini seperti berada di atas hukum, sangat sakti sehingga tak tersentuh. Ini kejahatan lingkungan yang patut dikenai pidana," tegasnya.
Ia kemudian menggambarkan bahaya limbah yang dibuang sembarangan.
"Bayangkan jika limbahnya kecil dan dibuang diam-diam, lalu disedot PDAM dan dikonsumsi masyarakat. Ini sama saja meracuni masyarakat secara perlahan," ungkapnya.
Pencemaran Sungai Malinau juga berdampak luas. Deddy menyebut ekosistem sungai rusak, populasi ikan menurun, nelayan kehilangan pendapatan, dan petambak di hilir merugi akibat produktivitas tambak anjlok.
"Belum lagi biaya yang dikeluarkan pelanggan PDAM untuk membeli air bersih saat sungai tercemar berat," tambahnya.
Menurut Deddy, pemerintah dan aparat penegak hukum harus serius menegakkan aturan. Ia mendesak evaluasi kepemilikan dan konsesi PT KPUC.
"Harus ada sanksi pidana bagi yang lalai atau sengaja mencemari. Jika perlu, cabut izinnya dan lelang ke perusahaan yang patuh hukum," katanya.
Deddy khawatir jika dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap negara, hukum, dan keadilan. "Kejahatan lingkungan bisa jadi kejahatan kemanusiaan jika berlarut-larut," tegasnya.
Deddy menyinggung kasus pencemaran pada 2022, saat tanggul limbah PT KPUC jebol dan mencemari Sungai Malinau. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kala itu menghentikan operasi perusahaan. Namun, proses hukum mandek.
"Kasusnya hanya berhenti di penyelidikan, tak pernah naik ke penyidikan," keluhnya.
Saat itu, Menteri ESDM mengeluarkan surat keputusan penghentian operasi karena PT KPUC tidak memiliki kolam penampungan limbah sesuai regulasi. Tim Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga disebut sedang menyelidiki, tetapi hasilnya tak kunjung diumumkan.
Deddy mendesak Polda Kalimantan Utara (Kaltara) dan Mabes Polri memberikan kejelasan soal tindak lanjut hukum. Pada 2022, Polda Kaltara menaikkan status kasus ke penyidikan dan menggandeng ahli lingkungan. Namun, hingga kini, tak ada tersangka yang ditetapkan.
"Soal tindakan hukum, tanyakan ke Polda Kaltara dan Mabes Polri. Apa hasil penyidikannya? ESDM juga harus jelaskan, apakah ada rekomendasi ke pusat untuk tindakan lebih tegas?" tanya Deddy.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltara, Kombes Pol Ronald Ardiyanto Purba mengaku belum menerima laporan perkembangan kasus. Ia menyarankan untuk mengkonfirmasi Kasat Reskrim Polres Malinau terlebih dahulu.
"Saya belum dapat laporan perkembangannya. Hubungi dulu Kasat Reskrim Malinau. Kita tunggu dulu hasil pemeriksaan tim gabungan itu ya," pungkasnya.