Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Aimah Nurul Anam, menyoroti persoalan stabilisasi harga pangan, khususnya beras, yang semakin memberatkan masyarakat. Ia menilai kondisi ini ironis di tengah status Indonesia sebagai negara agraris.
“Negara kita negara agraris, petani kita ada di mana-mana, tapi rakyat beli beras susah, mahal,” kata Mufti dalam agenda Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Perdagangan Budi Santoso di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (4/9).
Mufti menyinggung laporan media massa yang menyebut beras merek Topi Koki kini dijual Rp140 ribu per kemasan, sementara beras medium dan premium dengan harga pemerintah justru sulit ditemukan di pasaran.
“Bahkan kami coba cek di toko modern, beras murah tidak ada, yang ada hanya beras mahal. Ini alarm bagi pemerintah,” ucapnya.
Ia menambahkan, keberadaan mafia pangan tidak lagi terselubung, melainkan sudah berani terang-terangan menentang kebijakan pemerintah.
“Semakin ada kebijakan, semakin satgas turun ke lapangan, justru mereka melawan dengan membuat harga baru bahkan sampai Rp150 ribu. Ini kan jelas-jelas perlawanan terhadap negara,” ungkapnya.
Karena itu, Mufti mendesak langkah konkret dan tegas dari Kementerian Perdagangan serta aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan mafia pangan.
Tanpa sikap tersebut, menurutnya, tambahan anggaran Kementerian Perdagangan tahun 2026 sebesar Rp1,9 triliun yang disiapkan untuk stabilisasi harga pangan hanya akan sia-sia.
Ia juga menyoroti kebingungan koordinasi antar kementerian. “Kalau semua saling cuci tangan, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab soal harga? Di daerah kami, harga beras sudah tembus Rp16 ribu per kilogram. Ini situasi darurat,” tegas politisi PDI Perjuangan itu.
Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Agustus 2025 mencatat, rata-rata harga beras medium nasional mencapai Rp14.700 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp12.500 per kilogram. Beberapa wilayah bahkan mencatat harga mendekati Rp16.000. Lonjakan harga ini turut menyumbang inflasi pangan pada Juli 2025 yang tercatat 5,21 persen secara tahunan.
Mufti menekankan rakyat menunggu jawaban konkret dari pemerintah.
“Ini bukan soal angka di atas kertas. Bagaimana pemerintah memastikan beras dengan harga terjangkau tersedia di pasar? Itu yang ditunggu rakyat,” jelasnya.
Ia juga mendesak agar Satgas Pangan tidak hanya melakukan sidak, tetapi mampu menjerat pelaku mafia yang mempermainkan distribusi.
“Kalau tidak ada ketegasan hukum, para mafia akan selalu mencari celah,” ujarnya.
Meski melontarkan kritik keras, Mufti memberi apresiasi pada langkah Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan harga gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram.
“Petani senang dengan harga Rp6.500. Tapi di sisi lain, masyarakat tetap kesulitan mencari beras dengan harga wajar. Jadi ada anomali: petani senang, rakyat susah. Ini yang harus segera dijawab pemerintah,” pungkasnya.