Ikuti Kami

MY Esti Beberkan Alasan Kenapa Komitmen Perjuangankan Kondisi Pendidikan di Daerah 3T

Politisi yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) DIY ini menyoroti rendahnya angka rata-rata lama sekolah di wilayah tersebut.

MY Esti Beberkan Alasan Kenapa Komitmen Perjuangankan Kondisi Pendidikan di Daerah 3T
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, MY Esti Wijayati.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, MY Esti Wijayati membeberkan sejumlah alasan menyuarakan kondisi Pendidikan di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T). 

Ungkapan tersebut disampaikan pula dalam akun medsosnya, IG @my.estiwijayati belum lama ini. 

“Masih ada 71 daerah 3T yang butuh perhatian pemerintah di bidang pendidikan,” tulisnya.

Politisi yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) DIY ini menyoroti rendahnya angka rata-rata lama sekolah di wilayah tersebut. Berdasarkan data yang ia sampaikan, banyak dari daerah 3T memiliki angka rata-rata lama sekolah di bawah 8 tahun—bahkan ada yang hanya mencapai 2,2 tahun. Angka ini menggambarkan betapa jauhnya akses pendidikan yang bisa dinikmati oleh anak-anak di wilayah-wilayah tersebut.

Baca: Ganjar Pranowo Ajak Kepala Daerah Praktek Pancasila

“Kalau masih ada daerah yang rata-rata sekolahnya hanya 2,2 tahun, berarti mereka bahkan belum tuntas menyelesaikan pendidikan dasar,” kata Esti

Ia menilai situasi ini sebagai alarm keras yang seharusnya mendorong pemerintah untuk mengambil langkah nyata dan cepat. Esti menegaskan bahwa pemerataan pendidikan tidak boleh hanya menjadi retorika, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk anggaran yang berpihak. 

Esti telah mendesak pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar bagi pembangunan pendidikan di daerah-daerah 3T. Menurutnya, peningkatan anggaran bukan hanya soal angka, tapi soal kehadiran negara dalam menjamin hak dasar pendidikan bagi semua anak bangsa. “Saya minta Kemendikdasmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan yang difokuskan untuk daerah-daerah tersebut,” lanjutnya.

Pernyataan Esti menjadi pengingat bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam upaya menciptakan keadilan pendidikan. Di tengah geliat transformasi digital dan modernisasi sekolah di kota-kota besar, anak-anak di pelosok negeri justru masih berjuang mendapatkan bangku sekolah yang layak. Pemerintah pusat diharapkan tidak lagi menunda kebijakan afirmatif untuk daerah 3T, demi masa depan generasi muda yang setara di seluruh pelosok Indonesia.

Bahkan dalam rapat di Komisi VIII DPR RI, pada Maret lalu, yang membahas tentang pemotongan anggaran MY Esti Wijayati mengkritisi 'hilangnya' sebagai anggaran di 3T. 

Saat itu Esti menyoroti kebijakan pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Pendidikan yang dinilai sangat merugikan daerah 3T. Ia menunjukkan data penurunan signifikan sejak tahun 2022, di mana DAK Fisik sempat mencapai Rp1,6 triliun, kemudian naik menjadi Rp1,86 triliun pada 2023, namun merosot menjadi Rp1,59 triliun di 2024, dan anjlok tajam ke angka Rp97,99 miliar pada tahun anggaran 2025.

“Ini bukan pengurangan biasa, tapi penghapusan anggaran secara ekstrem. Bagaimana mungkin daerah 3T bisa bangkit jika dana infrastruktur pendidikannya justru dihilangkan?” kata Esti dalam forum rapat di Gedung DPR RI, Senayan. Ia menyebut pemotongan ini sebagai langkah mundur dan bertentangan dengan semangat pembangunan nasional yang inklusif.

Esti turut menyoroti ketimpangan kapasitas fiskal antar daerah. Beberapa kabupaten seperti Sumba Barat Daya di NTT mampu mengalokasikan hingga 58 persen APBD-nya untuk sektor pendidikan. Seram Bagian Barat mencatat 50 persen, dan Nias Barat hampir 50 persen. Namun di sisi lain, Manggarai Timur hanya mampu mengalokasikan sekitar 9,5 persen. Ketimpangan ini, menurutnya, menunjukkan pentingnya intervensi pemerintah pusat yang konsisten dan adil.

Baca: Teknologi Kian Gerus Dunia Pekerjaan

Masuk Angin

Dengan nada tajam, ia memperingatkan agar pemerintah tidak mengelola kebijakan pendidikan secara kabur. Ia menggunakan istilah “masuk angin tingkat tinggi” untuk menggambarkan kondisi kebijakan yang tidak transparan dan tidak memiliki arah yang pasti. Dalam budaya Indonesia, istilah “masuk angin” kerap digunakan untuk menyatakan kondisi tubuh yang tidak enak, dan Esti mengibaratkan kebijakan ini sebagai kondisi sistem pendidikan yang sedang tidak sehat.

Esti pun meminta kejelasan dari Kementerian Pendidikan terkait alasan di balik pemangkasan anggaran yang ekstrem ini. Ia menilai tidak ada justifikasi kuat, baik dari sisi efisiensi maupun pergeseran program, yang bisa membenarkan penghilangan dana sebesar itu untuk sektor fisik pendidikan. “Kalau ini dibiarkan, berarti negara abai pada daerah-daerah yang paling membutuhkan,” tegasnya.

Lebih jauh, Esti menekankan bahwa pemerataan pendidikan bukan sekadar slogan, melainkan amanat konstitusi yang harus diwujudkan lewat kebijakan nyata. Ia mendorong adanya evaluasi total terhadap distribusi anggaran pendidikan, terutama untuk menjamin pembangunan infrastruktur dasar seperti ruang kelas, laboratorium, dan sarana pendukung lainnya di wilayah 3T

"Pendidikan di daerah 3T tidak boleh sekadar menjadi wacana. Harus ada langkah konkret, bukan hanya janji yang tak kunjung terealisasi. Jangan sampai program-program strategis ini ‘masuk angin’—kelihatan di atas kertas, tapi tidak berdampak di lapangan,” tutup Esti.

Quote