Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, mengatakan Untuk memenuhi kebutuhan dan pemerataan dokter spesialis, maka pendidikan profesi di bidang kesehatan perlu dilakukan transformasi melalui dua sistem pendidikan.
Pertama, sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pendidikan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan bidang kesehatan, dan kolegium yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi sesuai dengan sistem universiteit base.
Kedua, pendidikan profesi bidang kesehatan yang dapat diselenggarakan oleh rumah sakit yang bekerja sama dengan perguruan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi, kementerian yang menyelenggarakan bidang kesehatan, dan kolegium yang bertanggung jawab atas mutu pelayanan profesi yang sesuai dengan sistem hospital base.
I Wayan Sudirta menyampaikan, terhadap Perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 tersebut. Permohonan ini diajukan oleh sejumlah dokter dan mahasiswa ilmu kedokteran, yakni Razak Ramadhan Jati Riyanto (Pemohon I), M. Abdul Latif Khamdilah (Pemohon II), M. Hidayat Budi Kusumo (Pemohon III), dan M. Mukhlis Rudi Prihatno (Pemohon IV). Sidang ketiga dari uji materiil Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ini digelar, Kamis (2/10/2025).
"Bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan dengan sistem terbuka diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program, lintas satuan, dan jalur pendidikan multientri, dan multi-eksisten," kata Sudirta.
"Peserta didik dapat belajar sambil bekerja atau mengambil sebuah program pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh," sambungnya.
Wayan menyampaikan teknis pelaksanaan pendidikan non-kesehatan dan kesehatan memiliki perbedaan yang memerlukan kekhususan pendidikan kesehatan yang tidak terpisahkan dengan layanan kesehatan kepada masyarakat serta adanya perkembangan teknologi dan ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Atas perbedaan tersebut, tidak berarti pelaksanaan pendidikan kesehatan tidak lagi sejalan dengan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan tinggi di Indonesia apalagi bertentangan dengan UUD 1945.
“Berdasarkan risalah pembentukan UU a quo, mempertimbangkan bahwa kebutuhan dokter spesialis ini merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan sebagai elemen penunjang kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan kesehatan program spesialis dan subspesialis dengan menggunakan sistem Universiteit Base dan Hospital Base dipandang sebagai suatu terobosan guna mempercepat produksi dokter spesialis untuk mengisi kekurangan khususnya di daerah-daerah tertinggal. Hal ini selaras dengan RPJPM 2025-2045 dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 melalui pembangunan SDM dan pembangunan kesehatan,” terang Wayan.
Sebelumnya, para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Sebab semangat transformasi perubahan dengan menyediakan alternatif penyelenggaraan pendidikan profesi spesialis/subspesialis oleh Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit Pendidikan, tanpa mengharmonisasikan dan mengubah hal-hal khusus yang beririsan dengan UU 17/2023 diundangkan dan dinyatakan tegas dalam UU 20/2003 dan UU 12/2012.
Pemohon menjelaskan akan adanya kebutuhan percepatan dokter spesialis/subspesialis yang digaungkan oleh Pemerintah. Namun, hal ini kemudian menjadi kontradiktif dan mispersepsi yang menimbulkan ketidakpastian hukum yang jelas dan adil saat dilakukan terobosan melalui pembentukan sistem penyelenggara utama pendidikan spesialis/subspesialis baru (RSPPU).
Dalam pandangan para Pemohon, pembentuk undang-undang dinilai tidak rasional dalam membentuk RSPPU dengan memproduksi dokter sebanyak-banyaknya tanpa memberdayakan terlebih dahulu Perguruan Tinggi yang sudah ada di seluruh Indonesia.
Selain itu, hal demikian juga menimbulkan konflik kepentingan dan ketegangan terhadap dua sistem penyelenggara pendidikan berbeda antara Perguruan Tinggi sebagai university based dan RSPPU sebagai hospital based. Sebab perbedaan sistem pendidikan dan perlakuan terhadap residen mahasiswa, baik semasa pendidikan maupun pascapendidikan.
Adanya norma Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) UU 17/2023 telah melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 karena Pemerintah memberlakukan dualisme penyelenggara pendidikan profesi spesialis dan subspesialis tanpa mengharmonisasikan terlebih dahulu berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan pendidikannya. Selain itu, norma ini melahirkan dualisme pada sistem penyelenggaraan pendidikan spesialis/subspesialis di RSPPU yang dapat berdampak pada kecemburuan dan konflik kepentingan, baik dari penyelenggara pendidikan maupun residen.
Berdasar dalil tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 187 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Rumah Sakit pendidikan hanya dapat berperan sebagai mitra pelaksana klinis dalam penyelenggaraan pendidikan profesi bidang Kesehatan untuk program spesialis/subspesialis dengan tetap bekerja sama dengan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan utama”.