Jakarta, Gesuri.id - Maraknya berbagai masalah yang muncul di Bali, seperti bangunan tembok GWK (Garuda Wisnu Kencana) yang setahun berlangsung memblokade akses keluar-masuk warga Banjar Giri Dharma, Ungasan, Badung, serta adanya sertifikat hak milik (SHM) diatas Tahura atau taman hutan rakyat berupa hutan bakau di Kawasan pesisir Suwung, dan bangunan resort yang diduga melanggar tata ruang dan lingkungan hidup, merupakan bentuk nyata bagaimana perilaku oknum pejabat tersebut melawan nilai-nilai Pancasila.
Anggota Komisi III DPR RI Dapil Bali, Dr. Wayan Sudirta, SH, MH. menegaskan hal itu dalam sosialisasi 4 pilar kebangsaan di hadapan mahasiswa dan tokoh masyarakat, di Denpasar, Sabtu (4/10/2025).
Sudirta menegaskan, maraknya konten-konten perorangan yang menyuarakan protes masyarakat dan menyoroti langsung lembaga-lembaga pemerintah yang dinilai kurang tanggap, merupakan partisipasi spontan.
‘’Protes-protes yang menyoroti pemerintah, elit politik dan elit kekuasaan, bagi pemerintah justru merupakan partisipasi yang membantu pengawasan publik,’’ ujar Sudirta.
Dipandu moderator Putu Wirata Dwikora, yang juga ketua Bali Corruption Watch, keduanya memaparkan bagaimana reformasi 1998, sekarang hampir kembali ke praktek Orde Baru yang jauh lebih korup, korupsinya sistematis, menjadi praktek laten dan meracuni sistem dan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menuntun bangsa ke kehidupan yang sejahtera dan adil secara sosial ekonomi.
‘’Riset-riset para aktivis seperti lembaga DEMOS, yang meneliti praksis demokrasi di era reformasi, kesimpulannya di 10 tahun reformasi sudah sangat memperihatinkan."
"Dimana ketika lembaga-lembaga demokrasi dibentuk, seperti lahirnya KPK, MK, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, PPATK, Undang-undang kepartaian dan dana politik dan lain sebagainya, disiasati oleh elit-elit yang saling bekerjasama dalam jejaring yang korup dan sistematis. DEMOS menyimpulkan praktek demokrasi-semu, demokrasi yang dibajak oleh elit, dan terbukti sekarang korupsi semakin sistematis, melibatkan semua sector kekuasaan,’’ jelas Putu Wirata.
Kebobrokan sistem yang menyeluruh tersebut, sangat membutuhkan pengawasan partisipatif, yang semoga saja melalui cara-cara yang damai dengan tetap tegas dan mengangkat isu-isu secara mendasar, kata Putu Wirata.
‘’Semoga ada kesadaran para elit untuk melakukan perubahan secara mendasar, guna memperbaiki situasi yang semakin korup ini. Kalau tidak ada kesadaran, kuatirnya memicu ledakan massa dan amok yang merugikan dan korbannya selalu rakyat dan masyarakat luas,’’ imbuh Putu Wirata lagi.
Sudirta dan Putu Wirata mengajak masyarakat yang vokal menyoroti elit-elit kekuasaan yang bermewah-mewah, yang lalai dan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran, seperti pelanggaran tata ruang yang merusak, dengan pembangunan Gedung di sempadan sungai misalnya, mesti didukung, dan kalau ada kriminalisasi, masyarakat meski bersatu melakukan pembelaan.