Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Sudirta, menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada di persimpangan sejarah hukum yang sangat menentukan.
Ia menyebut kebutuhan akan kepastian hukum dalam interaksi lintas negara bukan lagi sebatas wacana akademis, melainkan sebuah keharusan nasional yang mendesak.
"Ironi terbesar dalam sistem hukum perdata internasional kita saat ini adalah ketergantungan pada aturan yang diciptakan hampir dua abad lalu," kata Wayan, Kamis (11/12/2025).
Wayan menjelaskan bahwa kehadiran Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 bukan hanya pembaruan regulasi, tetapi juga menjadi deklarasi kemandirian hukum perdata Indonesia di level global.
Menurutnya, harmonisasi menjadi kunci utama, mengingat aturan HPI selama ini tersebar dalam berbagai undang-undang sektoral seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, hingga UU Penanaman Modal.
"Kondisi tambal sulam ini mengakibatkan arah kebijakan hukum menjadi tidak konsisten, dan melemahkan daya saing Indonesia dalam perdagangan serta investasi internasional," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa secara filosofis, RUU HPI hadir untuk menjawab tiga pilar utama: kepastian hukum, keadilan, dan pelindungan warga negara. Pemerintah, kata Wayan, telah menunjukkan keseriusannya dengan menyampaikan RUU tersebut melalui Surat Presiden pada Agustus 2025.
"Sistematika yang diusulkan sangat komprehensif, mencakup 10 bab yang mengatur mulai dari subjek hukum, hukum keluarga, benda, hingga pengakuan putusan asing," ujarnya.
Urgensi RUU HPI, lanjut Wayan, semakin terlihat dengan perkembangan kasus masyarakat modern yang tidak lagi dapat diselesaikan dengan perspektif hukum abad ke-19. Salah satu contoh ialah sulitnya mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia, sehingga negara kerap dianggap kurang ramah bagi dunia bisnis. Selain itu, pasangan beda negara sering terjebak dalam persoalan status hukum perkawinan hingga sengketa hak asuh anak.
"RUU ini mendesak penerapan asas Habitual Residence (tempat tinggal sehari-hari) demi kepentingan terbaik anak (best interest of the child)," ujarnya.
Ia juga menyoroti persoalan warisan warga negara Indonesia yang memiliki aset digital seperti Bitcoin di luar negeri, serta fenomena penggunaan jasa ibu pengganti (surrogacy) di luar negeri yang berisiko menimbulkan anak tanpa kewarganegaraan saat kembali ke Indonesia.
"RUU HPI harus hadir mengisi kekosongan hukum ini untuk mencegah penyelundupan hukum sekaligus melindungi hak anak," tegasnya.
Selain itu, sudah terdapat sejumlah isu krusial yang dipetakan agar RUU ini menjadi instrumen hukum yang progresif dan antisipatif. Salah satunya adalah kejelasan terkait penerimaan atau penolakan penunjukan kembali (renvoi) dalam perkara lintas negara.
"Tanpa aturan yang jelas, perkara bisa menjadi 'ping-pong' hukum tanpa henti," ucap Wayan.
Ia juga menekankan bahwa RUU HPI harus sinkron dengan UU Perlindungan Data Pribadi agar pengadilan Indonesia dapat menjangkau pengendali data di luar negeri yang memproses data warga Indonesia. Selain itu, RUU HPI perlu menutup praktik penguasaan tanah oleh warga negara asing melalui penggunaan nama warga lokal.
"Praktik WNA menguasai tanah Hak Milik di Indonesia dengan meminjam nama warga lokal (Nominee Arrangement) adalah rahasia umum yang melanggar UU Pokok Agraria," pungkasnya.

















































































