Jakarta, Gesuri.id - Di tengah deru arus globalisasi yang menisbikan batas-batas negara, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah hukum yang krusial.
Kebutuhan akan kepastian hukum dalam interaksi lintas negara bukan lagi sekadar wacana akademis, melainkan sebuah imperatif nasional.
Kehadiran Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 bukan sekadar pembaruan regulasi, melainkan sebuah proklamasi kemandirian hukum perdata Indonesia di kancah global.
Dari Belenggu Kolonial Menuju Kemandirian Nasional
Ironi terbesar dalam sistem hukum perdata internasional kita saat ini adalah ketergantungan pada aturan yang diciptakan hampir dua abad lalu.
Hingga detik ini, pijakan hukum kita masih merujuk pada Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) tahun 1847, sebuah peninggalan Hindia Belanda.
Pasal 16, 17, dan 18 AB 1847 yang mengatur hubungan hukum antara warga negara Indonesia dan pihak asing, meskipun memuat prinsip dasar, sudah sangat usang dan tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman.
Ketiadaan kodifikasi HPI yang mandiri menyebabkan fragmentasi hukum yang parah. Aturan HPI terserak dalam berbagai undang-undang, mulai dari Pasal 18 UU ITE, UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, hingga UU Penanaman Modal.
Kondisi "tambal sulam" ini mengakibatkan arah kebijakan hukum menjadi tidak konsisten dan melemahkan daya saing Indonesia dalam perdagangan serta investasi internasional. Kita membutuhkan sebuah unifikasi hukum yang mengakhiri rezim kolonial ini dan menggantinya dengan sistem yang berwawasan nasional namun berstandar internasional.
Landasan Filosofis: Kepastian, Keadilan, dan Pelindungan
Secara filosofis, RUU HPI hadir untuk menjawab tiga pilar utama: kepastian hukum, keadilan, dan pelindungan warga negara.
Pertama, kepastian hukum (Legal Certainty). Tanpa aturan HPI yang jelas, pelaku bisnis dan individu terjebak dalam ketidakpastian mengenai hukum mana yang berlaku (Lex Causae).
RUU ini hadir untuk memangkas kebingungan tersebut dengan menetapkan titik pertalian yang tegas.
Kedua, keadilan (Justice). RUU ini dirancang untuk mencegah penyelundupan hukum (fraus legis) yang kerap terjadi, seperti dalam kasus kepemilikan tanah oleh asing melalui perjanjian nominee yang merugikan kepentingan nasional.
Ketiga, pelindungan (Protection). Negara wajib hadir melindungi warga negaranya dalam sengketa lintas batas. RUU HPI mempertegas batasan ketertiban umum (public policy) sebagai "pucuk darurat" untuk menolak hukum asing yang melanggar sendi-sendi moral dan hukum Indonesia.
Urgensi Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Pemerintah telah menunjukkan keseriusan dengan menyampaikan RUU ini melalui Surat Presiden pada Agustus 2025. Sistematika yang diusulkan sangat komprehensif, mencakup 10 bab yang mengatur mulai dari subjek hukum, hukum keluarga, benda, hingga pengakuan putusan asing.
Harmonisasi menjadi kunci. RUU ini harus mampu menyatukan ketentuan yang tersebar dan memastikan tidak ada tumpang tindih dengan aturan sektoral seperti UU Perlindungan Data Pribadi maupun aturan ketenagakerjaan bagi pekerja migran.
Lebih dari itu, RUU ini perlu secara tegas mencabut keberlakuan pasal-pasal usang dalam AB 1847 demi kepastian hukum.
Realitas Sengketa: Mengapa Kita Butuh RUU HPI Sekarang?
Urgensi RUU HPI semakin nyata ketika kita melihat tipologi kasus yang berkembang di masyarakat modern, yang tidak bisa lagi diselesaikan dengan kacamata hukum abad ke-19.
Pertama, Indonesia sering dianggap "kurang ramah" bisnis karena putusan pengadilan asing sulit dieksekusi di sini. Akibatnya, putusan asing seringkali hanya dianggap sebagai bukti tertulis (prima facie evidence), bukan perintah eksekusi, yang menghambat iklim investasi.
Kedua, banyak pasangan beda negara menghadapi masalah pelik ("limbo") hukum. Mulai dari masalah double validity (sah di satu negara, tidak di negara lain), hingga perebutan hak asuh anak.
RUU ini mendesak penerapan asas Habitual Residence (tempat tinggal sehari-hari) demi kepentingan terbaik anak (best interest of the child). Ketiga, bagaimana cara membagi warisan jika pewaris WNI memiliki Bitcoin di server luar negeri?
Konsep benda dalam RUU ini perlu diperluas untuk mencakup aset digital dan menjawab tantangan smart contracts serta NFT.
Keempat, fenomena WNI yang menggunakan jasa ibu pengganti di luar negeri (seperti di Ukraina) menimbulkan risiko anak tanpa kewarganegaraan (stateless) saat dibawa pulang.
RUU HPI harus hadir mengisi kekosongan hukum ini untuk mencegah penyelundupan hukum sekaligus melindungi hak anak.
Materi Muatan Visioner: Apa yang Harus Diatur?
Berdasarkan isu-isu krusial yang telah dipetakan, RUU HPI harus menjadi instrumen hukum yang progresif dan antisipatif. Beberapa poin vital yang harus dikukuhkan meliputi:
Pertama, RUU harus memperjelas penerimaan atau penolakan terhadap penunjukan kembali (Renvoi). Renvoi atau "Penunjukan Kembali" adalah situasi di mana aturan HPI negara forum (tempat pengadilan berada) menunjuk hukum negara asing untuk berlaku, namun aturan HPI negara asing tersebut justru menunjuk kembali ke arah hukum negara forum (atau ke negara ketiga).
Tanpa aturan yang jelas, perkara bisa menjadi "ping-pong" hukum tanpa henti. Rekomendasi terbaik adalah menerima Renvoi hanya untuk status personal demi validitas, namun menolaknya dalam kontrak bisnis demi kepastian.
Kedua, menghadapi raksasa teknologi, RUU HPI harus sinkron dengan UU PDP, memungkinkan pengadilan Indonesia menjangkau pengendali data di luar negeri yang memproses data warga Indonesia.
Contoh kasusnya seperti perusahaan media sosial raksasa (misal berpusat di AS) membocorkan data pribadi pengguna Indonesia. Saat digugat di Jakarta, mereka sering berkelit: "Kami tidak punya kantor di sini”, sehingga mengakibatkan pengadilan Indonesia tidak berwenang.
Ketiga, memberikan kewenangan bagi pengadilan Indonesia untuk menolak mengadili perkara yang tidak memiliki keterkaitan substansial dengan Indonesia, atau jika ada forum lain yang lebih tepat.
Sebagai contoh, sengketa kontrak antara perusahaan Jepang dan perusahaan Jerman mengenai proyek konstruksi di Vietnam. Mereka menggugat di Jakarta hanya karena perusahaan Jepang punya kantor cabang di Jakarta.
Keempat, menutup celah penguasaan tanah oleh asing yang menggunakan nama warga lokal dengan menegaskan bahwa kontrak semacam itu batal demi hukum. Praktik WNA menguasai tanah Hak Milik di Indonesia dengan "meminjam nama" warga lokal (Nominee Arrangement) adalah rahasia umum yang melanggar UU Pokok Agraria.
Sering kali, perjanjian di belakang layar ini dibuat seolah-olah tunduk pada hukum asing untuk menghindari deteksi
Penutup: Sebuah Legasi Hukum
Pengesahan RUU Hukum Perdata Internasional bukan sekadar menambah daftar undang-undang, melainkan meletakkan batu penjuru bagi peradaban hukum Indonesia yang modern.
Ini adalah tentang martabat bangsa dalam pergaulan internasional. Dengan RUU HPI yang komprehensif, Indonesia tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi warganya, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai negara berdaulat yang siap menjadi pemain kunci dalam dinamika global.
Saatnya kita meninggalkan warisan kolonial dan menyongsong hukum masa depan yang berkeadilan.
Sumber: pancarpos.com

















































































