Ikuti Kami

Cornelis: Hitung Cepat Lembaga Survei, Kejahatan Akademik

Hasil survei perolehan suara Pilkada Kalbar yang dilakukan LSI Denny JA dan Poltracking merupakan bentuk kejahatan akademik

Cornelis: Hitung Cepat Lembaga Survei, Kejahatan Akademik
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDIP) Provinsi Kalimantan Barat, Cornelis .

Pontianak, Gesuri.id - Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDIP) Provinsi Kalimantan Barat, Cornelis menyatakan hasil survei perolehan suara Pilkada Kalbar yang dilakukan oleh dua lembaga survei (LSI Denny JA dan Poltracking) merupakan bentuk kejahatan akademik.

"Dalam konteks Pilkada Gubernur Kalbar, jelas sekali bahwa kedua lembaga survei itu adalah konsultan politik lawan tandingnya maka pengukuran hasil survei pasti bias demi kepentingan diri mereka sendiri. Sehingga hasilnya jelas merupakan kejahatan akademik," kata Cornelis saat menggelar konferensi pers bersama sejumlah wartawan di kantor DPD PDI Perjuangan Kalbar, Sabtu (30/6).

Baca: Tim Advokasi Karolin Laporkan Pembukaan Kotak Suara

Hal itu disampaikannya untuk merespon hasil Survei LSI Denny JA dan Poltracking tentang hasil Pilkada Kalbar, Rabu (27/6), yang akhirnya diklaim sebagai kemenangan hasil akademik, ingin memberitahukan bahwa metode riset survei adalah metode riset yang paling lemah dalam konteks akademik.

"Metode survei baru bisa dikatakan bernilai akademik bila data survei itu diintegrasikan dengan data observasi. Dalam konteks Pilkada Kalbar, data observasi itu harus meliputi wilayah keseluruhan Kalbar, bukan hanya segelintir TPS," tuturnya.

Mantan Gubernur Kalbar dua periode itu menjelaskan, ada empat komponen alasan yang menyebabkan metode survei seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Pertama, coverage error yang merujuk pada luasnya respondent yang harus dicakup dalam survei.

Misalnya, kata dia, Pilkada Gubernur Kalbar ada sekitar 11.500 TPS, namun survei untuk QC hanya mensurvei 350 TPS. "Ini berarti kurang dari 5 persen populasi responden, maka jelas ini tidak bisa diterima secara akademik yang datanya solid," tuturnya.

Kedua, lanjutnya, sampling error yang merujuk pada sistem random sample yang seharus merata, bukan berpusat pada tempat tertentu yang akhirnya tidak mewakili respondent yang luas.

"Pertanyaannya, apakah sistem random sample yang dibuat oleh kedua lembaga survei di atas benar-benar disebar, atau hanya ambil sample pada tempat-tempat tertentu saja. Kalau tidak mewakili semua wilayah dalam sistem randomnya maka data yang dihasilkan itu manipulatif dan tidak bisa diterima secara akademik," katanya.

Baca: Kedaulatan Rakyat Pemilu Wujud Kedaulatan Pancasila-UUD'45

Ketiga, nonresponse error yang merujuk pada data tidak dikumpulkan mewakili semua responden yang sedang menjadi objek penelitian. Dari jumlah TPS yang jadi sampling responden sebanyak sekitar 350-an TPS maka jelas error itu terjadi dan tidak bisa diterima secara akademik.

"Keempat, measurement error yang merujuk pada motivasi peneliti dalam menafsirkan atau menggiring hasil survei terserah si peneliti. Dalam konteks Pilkada Gubernur Kalbar, jelas sekali bahwa kedua lembaga survei itu adalah konsultan politik lawan tandingnya maka pengukuran hasil survei pasti bias demi kepentingan diri mereka sendiri, sehingga hasilnya jelas merupakan kejahatan akademik," kata Cornelis.

Menurutnya, survei kedua lembaga tersebut tidak bernilai akademik, bahkan merujuk pada kejahatan akademik.

"Lihat Survei Research-Stanford university yang ditulis oleh Penny S. Visser, Jon A. Krosnick, dan Paul J. Lavrakas. P, lLalu beberapa juga alasan metode survei tidak dapat dipercaya, bila peneliti dan responden sama-sama melakukan kebohongan," katanya.

Dalam dunia politik, kata Cornelis, itu sering dilakukan. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk mengarahkan pada maksud yang diinginkan, dimana dalam konteks Pilkada yang disurvei oleh konsultan politik maka jelas hal itu tidak bisa dihindari.

"Ketiga, adanya bias dari individu, baik yang mensurvei maupun yang disurvei. Konteks Pilkada itu pasti terjadi maka tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik," tuturnya.

Keempat, lanjutnya, inconsistency and high level of error. Peneliti dan sample respondent tidak konsisten dan tingkat errornya sangat tinggi, khususnya dalam konteks wilayah Kalbar yang sangat luas dengan sebagian besar masyarakat di pedalaman maka tingkat manipulatif data sangat-sangat tinggi.

"Sehingga survei Pilkada Kalbar yang dilakukan oleh kedua lembaga survei itu tidak bisa dikategorikan ilmiah dan akademik," kata Cornelis.

Baca: Karolin Siap Menang dan Kalah di Pilkada Kalbar

Dia juga mengungkapkan, menurut Nadler, akademik adalah proses dimana kita mengetahui sebuah kebenaran. Tetapi, yang dilakukan oleh survei kedua lembaga LSI dan Poltracking adalah proses untuk membenarkan hipotesis diri sendiri atau membuat benar diri sendiri, dalam hal ini kebenaran pasangan yang mereka usung menang.

Akhirnya klaim yang menyebut bahwa pasangan Sutardmiji-Norsan sudah menang secara akademik adalah klaim yang membajak hak warga Kalbar yang tidak bisa dibenarkan. Warga Kalbar yang dibajak haknya dianggap bodoh dan dianggap tidak mengerti prinsip-prinsip akademik.

"Itu juga berarti kejahatan kemanusiaan dan beberapa pelanggaran selama penyelenggaraan Pilkada tetap akan diproses dan tindaklanjuti," katanya.

Quote