Ikuti Kami

Aria Bima Kenang Sejarah Segregasi Permukiman di Surakarta dan Yogyakarta

Ia mengutip manuskrip kecil tentang Kota Gede yang ditulis pada tahun 1962.

Aria Bima Kenang Sejarah Segregasi Permukiman di Surakarta dan Yogyakarta
Wakil Ketua Komisi ll DPR RI, Aria Bima.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi ll DPR RI, Aria Bima, menyinggung kembali catatan sejarah penting terkait tata ruang dan kehidupan masyarakat di Jawa pada masa kolonial. 

Ia mengutip manuskrip kecil tentang Kota Gede yang ditulis pada tahun 1962, yang merekam pandangan Gubernur Hindia Belanda terakhir, H.M. Van Mook, mengenai segregasi pemukiman di wilayah kekuasaan para raja di Surakarta dan Yogyakarta.

“Dalam manuskrip kecil tentang Kota Gede tahun 1962, Lendan Gubernur Hindia Belanda terakhir, H.M. Van Mook, menggambarkan segregasi pemungkinan di wilayah kekuasaan para raja di Surakarta dan di Yogyakarta,” kata Aria Bima, dikutip pada Sabtu (4/10/2025)..

Politisi senior PDI Perjuangan itu menjelaskan, dari catatan tersebut tergambar jelas bahwa terdapat tiga kawasan yang berkembang di Surakarta kala itu, masing-masing mencerminkan lapisan sosial dan etnis yang berbeda. 

“Tiga kawasan tumbuh di bawah langit Kuto-Solo, Pelandan untuk orang Eropa yang nyaman dan teratur, Pecinan dan Pasar hidup priuh di sekitar pasar, yang lokasinya sekarang kita kenal sebagai Pasar Gede dan Pasar Kelipon,” ungkapnya.

Lebih jauh, Aria Bima menuturkan bahwa masyarakat Jawa menempati kawasan Kejawan, sebuah wilayah yang memperlihatkan karakter hidup yang menyatu, egaliter, dan sarat nilai kekeluargaan. 

“Sedangkan Kejawan adalah tempat orang Jawa hidup secara paripurna, menyatu tanpa sekat, di mana rumah adalah segalanya. Tempat berdeduk, bekerja, berdoa, dan berbagi hidup,” ucapnya.

Menurutnya, potret sejarah ini memberikan pesan mendalam bahwa kota tidak semata-mata dilihat dari bangunan dan tata ruangnya, melainkan dari kehidupan sosial yang terjalin di dalamnya. 

“Disinilah kita belajar bahwa sebuah kota tidak hanya dibentuk oleh bangunan-bangunannya, tetapi oleh cara warganya menjalani hidupnya,” tegas Aria Bima.

Ia menambahkan, refleksi ini menjadi penting di tengah pembangunan kota modern yang kerap melupakan nilai kultural. 

Bagi Aria Bima, kisah Kota Gede dan Kuto-Solo harus menjadi pengingat bahwa harmoni sosial dan gotong royong adalah fondasi yang membuat sebuah kota benar-benar hidup, bukan sekadar berdiri.

Quote