Ikuti Kami

Dekrit 5 Juli 1959, Upaya Bung Karno Selamatkan Revolusi

Era Demokrasi Liberal di Indonesia pada 1950-an penuh dengan ketidakpastian.

Dekrit 5 Juli 1959, Upaya Bung Karno Selamatkan Revolusi
Presiden Pertama RI Soekarno.

Jakarta, Gesuri.id - Era Demokrasi Liberal di Indonesia pada 1950-an penuh dengan ketidakpastian. Pergolakan politik sangat sering terjadi yang menyebabkan perdana menteri dan kabinet bergonta-ganti. 

Berbagai pemberontakan seperti DI/TII, PRRI/Permesta dan RMS pun terjadi di banyak wilayah negeri. Celakanya, tangan-tangan asing ikut bermain dalam beberapa pemberontakan tersebut. 

Baca: RSUD Bung Karno, Wali Kota Rudy: Sudah 90 Persen Rampung

Walhasil, kehidupan berbangsa dan bernegara pasca revolusi kemerdekaan tak henti dilanda gejolak. Ancaman disintegrasi bangsa kian nyata, apalagi dengan intervensi asing di depan mata. 

Persoalan konstitusi pun tak tuntas di era Demokrasi Liberal. Sejak tahun 1950, konstitusi yang dipakai Indonesia adalah Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). UUDS ini dirancang hanya berlaku hingga terbentuk Badan Konstituante hasil Pemilu 1955.

Sejak 10 November 1956, Konstituante ditugasi membuat undang-undang dasar baru. Namun, bukannya menuntaskan tugas, Konstituante justru dibelit konflik. 

Image result for Dekrit

Terjadi perdebatan alot tentang dasar negara dalam konstitusi antara kelompok yang pro Pancasila dan kelompok pro Islam. 

Hal itu membuat Bung Karno bertindak.  Pada 22 April 1959 dalam sidang Konstituante, Bung Karno menganjurkan agar bangsa dan negara Indonesia kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pidato yang kelak dibukukan dengan judul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” itu, Bung Karno mengkritik cara kerja Konstituante yang tidak mengalami kemajuan selama ini. Bung Karno pun meminta supaya usul pemerintah disetujui dengan segera oleh Konstituante.

Baca: PNI, Manifestasi Perlawanan Bung Karno Pada Kolonialisme

 “Usul pelaksanaan kembalinya Undang-Undang Dasar 1945 itu memang belum menjamin mengatasi kesulitan-kesulitan bangsa. Tidak pernah ada satu revolusi yang memecahkan satu persoalan dalam satu malam, tetapi UUD 1945 akan memungkinkan  bangsa Indonesia menghadapi kesulitan-kesulitannya”. demikian tegas Bung Karno dalam pidatonya tersebut. 

Partai-partai pun terpolarisasi. Usulan Bung Karno itu didukung terutama oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Sedangkan Masyumi menolak. 

Pada 30 Mei 1959, merespon usulan Bung Karno itu, pemungutan suara dilakukan di Konstituante. Sebanyak 269 suara setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Karena tidak memenuhi kuorum, maka pemungutan suara ulang pun dilakukan. Namun pemungutan suara ulang itu tetap gagal menghasilkan keputusan. 

Gagal menjalankan tugas, pada 3 Juni 1959 reses di Konstituante pun diberlakukan. 

Maka, seruan agar Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk mengakhiri krisis konstitusi pun bergema.

PNI, yang kala itu dipimpin mantan Walikota Jakarta, Suwirjo, mendukung penuh Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit. Sebagaimana termaktub dalam terbitan PNI yang berjudul P.N.I dan Perdjuangannja (1960: 81), PNI menyimpulkan bahwa Dekrit Presiden adalah cara terbaik untuk memecah kebuntuan konstitusi. 

Related image

Walhasil, Bung Karno pun mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959. Dalam dekrit itu, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, menetapkan pembubaran konstituante. 

Bung Karno juga menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi, bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari penetapan dekrit tersebut. Dengan begitu, Undang-undang Dasar Sementara tidak berlaku lagi.  

Selain itu, dalam dekrit tersebut diumumkan pula pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah utusan golongan dan daerah. Dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Bung Karno pun membubarkan Kabinet Karya Ir Juanda pada 10 Juli 1959 dan membentuk Kabinet Kerja yang dipimpinnya sendiri selaku Perdana Menteri. Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum 1955 yang dibubarkan melalui dekrit,  menyatakan kesediaannya  untuk bekerja terus dan segera dilantik sebagai DPR berdasarkan UUD 1945.

Pada pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1959, Bung Karno memaparkan konsepsi politiknya.  Bung Karno mengatakan sejak saat itu Indonesia membuka halaman baru dalam sejarah revolusi dan perjuangan nasional. 

Baca: Masjid Istiqlal, Persembahan Bung Karno Bagi Dunia Islam

“1959 menduduki tempat jang istimewa dalam sedjarah Revolusi kita itu…Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita, sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun , kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, – Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada djiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun “Rediscovery of our Revolution.”  demikian tegas Bung Karno dalam pidatonya. 

Pidato ini kelak dibukukan dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dan Bung Karno menyatakan pidato ini sebagai "Manifesto Politik Republik Indonesia" (Manipol) yang di kemudian hari dinyatakan sebagai ‘azimat’ politik. 

Menurut Bung Karno, Manipol memiliki intisari Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia atau yang disingkat Usdek. Maka, tak heran bila di kemudian hari dikenal istilah Manipol Usdek. 

Manipol Usdek ini kemudian menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disahkan oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada tahun berikutnya. 

Demikianlah upaya Bung Karno untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis konstitusi. Bagi Bung Karno, Indonesia harus diselamatkan dari krisis konstitusi, agar revolusi Indonesia bisa dituntaskan. 

Kesemrawutan ala Demokrasi Liberal 1950-an dinilai Bung Karno tak akan bisa menuntaskan revolusi Indonesia. Sebab, dalam Demokrasi Liberal tak ada persatuan nasional. Tak ada pula konstitusi dan arahan yang jelas dalam menentukan perjalanan bangsa.

Baca: Ajakan Jokowi ke Prabowo Implikasi Ideologi PDI Perjuangan

Maka, tak heran apabila setelah UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dalam Dekrit 5 Juli, Bung Karno pun membentuk Front Nasional sebagai wadah persatuan seluruh komponen bangsa guna memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan UUD 1945 

Bung Karno pun mengumandangkan Manipol Usdek sebagai GBHN atau arahan bagi bangsa ini untuk berjalan. Sehingga, Dekrit 5 Juli dan dikumandangkannya Manipol Usdek berada dalam satu rangkaian tak terpisahkan.

Quote