Jakarta, Gesuri.id – Politisi senior PDI Perjuangan, Panda Nababan, menegaskan bahwa penulisan sejarah bangsa tidak boleh hanya didasarkan pada cerita turun-temurun atau tafsir sepihak. Menurutnya, sejarah harus dibangun dari kesaksian otentik dan sumber-sumber yang terverifikasi, terutama dari mereka yang mengalami langsung peristiwa tersebut.
“Hukumnya satu: bersumberlah dari yang otentik. Syukur-syukur masih ada saksi sejarah yang mengalami langsung peristiwa itu,” ujarnya dalam Podcast Keadilan TV, Minggu (9/10).
Panda, yang pernah berkarier sebagai wartawan Sinar Harapan di era Orde Baru, menilai banyak narasi sejarah yang beredar di publik seringkali dipelintir untuk kepentingan politik. Hal itu membuat generasi muda tumbuh dengan pengetahuan sejarah yang kabur, bahkan terkadang keliru dalam menilai peristiwa-peristiwa penting bangsa.
Menurutnya, tanggung jawab moral seorang sejarawan atau penulis adalah menghadirkan kebenaran sejarah, bukan memperkuat glorifikasi kekuasaan. “Sejarah itu bukan alat propaganda. Ia adalah cermin bangsa untuk belajar dari masa lalu,” kata Panda.
Ia menyoroti fenomena maraknya revisi sejarah yang justru menyingkirkan suara korban dan saksi hidup. Misalnya, narasi tentang peristiwa 1965 yang hingga kini masih dilingkupi kabut propaganda. “Selama saksi sejarah masih hidup, selama itu pula bangsa ini punya kesempatan meluruskan catatan sejarahnya,” tegasnya.
Bagi Panda, kesaksian otentik menjadi benteng terakhir agar generasi mendatang tidak kehilangan jejak moral bangsa. Ia berharap lembaga pendidikan dan media massa ikut berperan aktif dalam menggali, merekam, dan menjaga narasi sejarah dari kepalsuan.
“Anak muda sekarang harus tahu bahwa kebenaran itu tidak datang dari Google atau media sosial saja. Mereka harus membaca arsip, mencari pelaku sejarah, mewawancarai saksi,” katanya.
Panda menambahkan, bangsa yang melupakan sejarah ibarat kapal tanpa kompas. “Kita bisa tersesat di masa depan jika buta pada masa lalu,” ujarnya.
Ia menutup pesannya dengan mengutip Bung Karno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Menurut Panda, pesan itu bukan sekadar slogan, melainkan peringatan moral agar bangsa ini tidak membiarkan manipulasi masa lalu menjadi alat untuk mengaburkan tanggung jawab penguasa.
















































































