Ikuti Kami

Sosok Wagub DKI yang Bersih versus Barter Politik Pengusung

Tahapan pemilihan calon wakil gubernur pengganti Sandiaga Uno usai rapat paripurna masih panjang. 

Sosok Wagub DKI yang Bersih versus Barter Politik Pengusung
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (Foto: gesuri.id/Elva Nurrul Prastiwi)

Hari ini, Senin (27/8), Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengumumkan rapat paripurna dengan agenda pengumuman pengunduran diri Sandiaga Uno dari jabatan wakil gubernur dipastikan akan digelar.

Agenda tersebut dijadwalkan akan berlangsung pukul 14.00 WIB dan dihadiri langsung oleh Sandiaga yang kini maju sebagai bakal calon wakil presiden dalam Pilpres 2019 mendampingi Prabowo Subianto.

Baca: Wagub Sandi Jadi Cawapres, Gembong: Bukan Masalah Besar

Rapat tersebut juga akan dihadiri oleh Gubernur Anies Baswedan, para pimpinan serta kepala-kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah di Jakarta.

Keputusan penyelenggaraan rapat pada hari ini diambil dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPRD pada Rabu (22/8).

"Paripurna akan dilaksanakan pada tanggal 27 hari ini sekitar pukul 14.00 dengan acara pembukaan, pembacaan, pengumuman, dan Pak Sandiaga juga diundang untuk bacakan surat pemberhentian," ucap Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi. 

Namun sebelum rapat paripurna tersebut berlangsung, begitu sengitnya kursi panas wagub DKI diperebutkan bahkan di dalam kubu partai pengusung yang menentukan calon wakil gubernur. Jelas tampak terlihat persaingan sengit telah terjadi antara PKS dan Gerindra.

Alih-alih demi meredam potensi kekisruhan, Ketua DPD Gerindra DKI M Taufik yang sebelumnya begitu kencang diisukan akan menggantikan posisi Sandiaga Uno, malah telah menandatangani surat kesepakatan antara PKS-Gerindra soal posisi wagub DKI. 

Dalam surat itu, PKS mengajukan nama Mardani Ali Sera dan Nurmansjah Lubis.

Padahal, Taufik juga diajukan Gerindra untuk duduk di kursi DKI 2 sebagai pengganti Sandiaga Uno yang maju Pilpres 2019. 

Taufik menandatangani surat tersebut tanggal 10 Agustus 2018 lalu, dan anehnya namun fakta berbicara meski sudah ditandatangani, Taufik menilai surat tersebut tidak sah.

Akan tetapi Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menyebut jika memang hanya PKS yang mengusulkan calon wakil gubernur, maka ada kemungkinan mereka sudah membuat kesepakatan dengan Gerindra.

PDI Perjuangan, menurut Gembong, akan melihat lebih dulu siapa yang akan diusulkan oleh partai pengusung ke DPRD untuk mengisi kekosongan jabatan wagub. Untuk proses pemilihannya, Gembong melanjutkan, tergantung dinamika yang terjadi di DPRD.

"Kalau tidak bisa dilakukan secara musyawarah maka dilakukan melalui cara tertutup voting tertutup, kalau tertutup kan bisa segala kemungkinan terjadi," kata Gembong.

Sebelumnya beredar kabar soal barter politik antara Gerindra dan PKS terkait pengganti Sandiaga Uno di jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Barter politik tersebut konon terdapat unsur pemaksaan dilakukan PKS, dengan menyodorkan surat kesepakatan pengisian jabatan wagub oleh Wakil Sekretaris Jenderal PKS Abdul Hakim. Hal itu terjadi saat mendampingi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendaftar ke KPU, pada 10 Agustus lalu.

Dalam surat tersebut nama Mardani Ali Sera dan Nurmansyah Lubis diusulkan untuk mengisi kekosongan jabatan wagub.

Gembong Warsono menekankan tahapan pemilihan calon wakil gubernur pengganti Sandiaga usai paripurna masih panjang. 

"Sebenarnya 30 hari kerja setelah penyampaian paripurna kepada presiden, presiden harus sampaikan SK pemberhentian," ucap Gembong.

Setelah itu, barulah pemilihan wakil gubernur baru yang akan mendampingi Anies bisa dilakukan, dengan terlebih dahulu mengusulkan nama-nama calon fraksi pendukung untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD.

Lobi Partai Pengusung Jangan Alot

Di samping tahapan pemilihan calon wagub yang masih panjang, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DKI Jakarta Gembong Warsono juga berulang kali mengingatkan hal itu baru bisa dilakukan setelah presiden secara resmi mengeluarkan surat pemberhentian Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Menurut Gembong, SK pemberhentian dari presiden baru keluar setelah DPRD melakukan rapat paripurna terkait pengunduran diri Sandiaga. 

"Besok di-bamus-kan. Kalau besok Bamus mungkin kita jadwalkan minggu depannya bisa diparipurnakan," kata Gembong saat ditemui di DPRD DKI Jakarta, Senin (20/8).

Gembong berharap bahwa lobi antara partai pengusung untuk menentukan calon wakil gubernur tidak berlarut-larut. Meski tak ada batas waktu, ia berharap pemilihan bisa dipercepat agar pemerintahan bisa berjalan lebih efisien dan gubernur dapat terbantu dengan hadirnya wakil gubernur baru.

Ia menambahkan, "kalau minggu depan paripurna, hasil paripurna segera disampaikan langsung ke presiden melalui Kemendagri, kemudian itu kan 30 hari kerja harus sudah ada suratnya."

Setelah itu, barulah pemilihan wakil gubernur baru yang akan mendampingi Anies bisa dilakukan, dengan terlebih dahulu mengusulkan nama-nama calon fraksi pendukung untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD.

"Mungkin juga bisa simultan (prosesnya). Sambil menunggu (Surat Pemberhentian) itu, di DPRD sudah lobi-lobi politik kan bisa saja. Enggak harus menunggu surat dari presiden dulu. Jadi setelah turun dari presiden, bisa langsung digodok di sini siapa calon-calonnya," ucap Gembong.

Baca: Gembong: Rp100 Miliar 'Cuma-Cuma', Program OK OCE Kemana?

Calon Wagub DKI Harus Bersih

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menjelaskan sejumlah kriteria yang seharusnya ada pada calon pengganti Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur DKI. 

Menurut dia, calon Wagub DKI harus sosok yang bersih, jelas, akuntabel, dan transparan. Prasetyo berpendapat kriteria itu dibutuhkan sebab posisi Wagub DKI memiliki peran penting.

"Itu kriteria dari saya, memegang teguh prinsip dari PDI Perjuangan. Yang penting yang layaklah untuk Jakarta," kata politikus PDI Perjuangan tersebut di Jakarta, pada Rabu (15/8). 

Setelah Sandiaga mundur karena mendaftar sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2019, penggantinya akan diputuskan oleh dua partai pengusung yakni PKS dan Gerindra. 

Pada beberapa kesempatan, petinggi Gerindra menyatakan posisi Wagub DKI akan diserahkan ke PKS. Namun, hingga hari ini, belum ada kepastian soal nama yang diajukan oleh dua partai tersebut. 

Prasetyo mengatakan DPRD DKI Jakarta masih menunggu keputusan dari dua partai pengusung Anies Baswedan Sandiaga Uno di Pilkada DKI 2017 tersebut. 

"Terserah mereka, mereka pemenang Pilkada DKI Jakarta kemarin. Saya enggak mau urusin rumah tangganya Gerindra dan PKS," kata Prasetyo.

"Kita sekarang menjalankan mekanisme pengunduran Sandi untuk pencalonan sebagai cawapres. Dan setelah itu baru kita pikirkan mekanisme berikutnya untuk pencalonan Wagub baru," Prasetyo melanjutkan.

Barter Politik 

Barter politik bukan merupakan hal yang baru di dunia politik, bahkan dianggap seperti hal yang biasa meskipun terdengar sangat tendensius yang berkonotasi negatif. Kata 'politik' saja terdengarnya sudah berstigma negatif dimana politik itu hanya permainan kalangan elite politik yang seolah menghalalkan cara apapun untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 

Politik juga berstigma tidak baik jika berkaitan dengan janji-janji politik bagi orang yang sudah menang yang tidak direalisasikan kepada rakyat yang memilihnya saat masa kampanye. 

Sedangkan asal kata dari barter yaitu pertukaran yang juga memiliki stigma yang kurang baik, sebab barter dilakukan tanpa alat pembayaran yang sah. Seperti barter barang dengan barang yang memiliki nilai dan fungsi yang sama yang seharusnya bisa ditukar atau dibeli dengan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Istilah kata barter seolah merupakan kegiatan yang begitu pragmatis demi memperoleh apa yang diinginkan.

Istilah "barter" adalah isilah yang berasal dari dunia perdagangan, dalam konteks ini, "barter" adalah istilah yang netral, namun istilah "barter" akan memberikan kesan yang buruk dan menyudutkan bila dipakai dalam konteks kebijakan politik.

Arti "barter" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "perdagangan dengan saling bertukar barang". Apakah kata "barter" juga bisa menggantikan kata "kontribusi"? Tidak bisa. Dalam sinonim kata "barter" memiliki padanan: tukar barang, tukar guling, tukar lalu.

Dalam kontribusi tidak ada barter, karena kontribusi merupakan pemberian dari sepihak, bila wajib disebut iuran, bila sukarela disebut sumbangan. Sedangkan dalam “barter” kedua belah pihak harus menerima sebagai pertukaran barang setelah proses tawar menawar.

Kesimpulannya, barter istilah yang buruk dan menyudutkan. Apalagi ditarik dalam konteks politik, menjadi barter politik.

Contoh barter politik di tingkat Internasional yang terjadi di negara adidaya seperti Amerika Serikat. Nakhoda baru AS kala itu, Donald Trump, menyadari benar bahwa konflik di Timur Tengah adalah potensi yang menguntungkan bagi Amerika Serikat. Trump punya ambisi besar untuk mengembalikan kejayaan AS khususnya di bidang ekonomi melalui barter politik dan keamanan dengan uang.

AS di bawah Trump berupaya keras mengembalikan pola konflik Iran versus Saudi dan negara-negara Sunni di Timur Tengah. Padahal polarisasi lama itu sebetulnya mulai mencair dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di Suriah, Irak, Yaman, dan negara lainnya, serta tercapainya perjanjian nuklir 5+1 dengan Iran.

Trump sangat memerlukan polarisasi itu untuk meneguhkan kehadirannya di Timur Tengah, meningkatkan kontrol, serta mengeruk uang dari negara-negara Arab Teluk. Caranya adalah dengan menjalankan politik sumur pompa. Di satu sisi, ia akan menekan habis-habisan Iran terutama di Irak. Di sisi lain, ia berupaya menyuburkan persepsi besarnya ancaman Iran bagi negara-negara Teluk yang kaya raya itu.

Baca: Tumpang Tindih Tim Anies, Gembong: Serahkan ke Dinas Terkait

Kembali ke barter politik posisi wagub DKI saat ini, entah apakah barter posisi wagub DKI yang secara "tak ikhlas" harus diberikan Gerindra ke PKS hanya karena keduanya berada dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandi, atau karena jabatan capres yang sebelumnya diidam-idamkan PKS. Seperti diketahui PKS sempat mengajukan sembilan nama bakal cawapres ke Prabowo Subianto, namun semuanya ditolak Prabowo dan akhirnya lebih memilih Sandiaga Uno yang notabene satu partai dengannya sebab saat menjadi cawagub DKI didukung oleh Gerindra.

Entah barter politik macam apa yang akan dilakukan dan apa yang terjadi, namun terlepas dari semua itu, masyarakat khususnya warga DKI Jakarta sangat merindukan wagub baru yang bisa bekerja dengan bersih dan jujur serta penuh inovatif demi kemajuan ibukota tercinta ini. Majunya Jakarta tentu menjadi cermin Majunya Indonesia Raya. Merdeka!!

Quote