Ikuti Kami

Basarah: Indonesia Bukan Negara Islam Tapi Negara Kebangsaan

Basarah: Para pendiri bangsa bersepakat untuk masyarakat Indonesia yang beragam, tidak mungkin satu agama tertentu menjadi ideologi negara.

Basarah: Indonesia Bukan Negara Islam Tapi Negara Kebangsaan
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Luar Negeri, Ahmad Basarah  saat menerima media massa Turki, saat berkunjung ke kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (20/10).

Jakarta, Gesuri.id - Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Luar Negeri, Ahmad Basarah mengatakan kebinekaan masyarakat Indonesia dipersatukan oleh ideologi Pancasila, sehingga meskipun mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim, Indonesia bukanlah negara Islam tapi negara kebangsaan.

Baca: Yasonna: Buku Guntur Soekarnoputra Hadirkan Silaturahmi

"Para pendiri bangsa kami bersepakat bahwa untuk masyarakat Indonesia yang beragam, tidak mungkin satu agama tertentu menjadi ideologi negara buat mereka. Karena itulah para pendiri bangsa sepakat memilih Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara," ujar Basarah yang juga Wakil Ketua MPR RI, saat menerima media massa Turki, saat berkunjung ke kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (20/10).

"Seseorang menjadi pemimpin di negeri kami bukan karena latar belakang agama yang dianutnya atau latar belakang sukunya, tapi karena prestasinya," tandas Ahmad Basarah melanjutkan.

Sementara itu, pers Turki menyatakan kekaguman mereka terhadap toleransi, keragaman, dan kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Pernyataan itu disampaikan oleh dua pimpinan media besar di Tunisia, Sofien Rejeb dari 'Dar es Sabah' dan Najmeddine Akkeri dari 'Asysyourouk' .

Kedatangan mereka disambut oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Luar Negeri, Ahmad Basarah, didampingi tiga anggota Fraksi PDI Perjuangan, yaitu Andreas Pareira, Diah Pitaloka, dan Putra Nababan. Sedangkan rombongan Tunisia didampingi atase ekonomi Kedubes RI di Tunisia Baskoro Ramadani dan staf lokal KBRI di Tunisia, Lamia.

"Setelah melihat langsung Indonesia, kami menyadari Indonesia jauh lebih bagus dari yang kami bayangkan sebelum kami berkunjung. Indonesia ternyata negara yang aman, modern, masyarakatnya juga ramah. Kami ingin tahu lebih jauh, mengapa masyarakat Indonesia yang berbicara dengan banyak bahasa bisa dipersatukan oleh satu bahasa saja," kata Sofien Rejeb dalam keterangannya, Kamis (20/10).

Hal menarik yang dicatat Sofien Rejeb adalah bahwa dia menyaksikan kaum perempuan di Ibu Kota Jakarta tidak semuanya mengenakan jilbab, padahal Indonesia adalah negara berpenduduk ,uslim terbesar di dunia. Menurut dia, pemandangan seperti ini bisa disaksikan juga di Tunisia, di mana kaum perempuan di negara itu bebas memilih mengenakan jilbab atau tidak.

"Baik di kota maupun di kampung, mereka keluar mengenakan jilbab bukan atas perintah negara seperti di negara tertentu, tapi karena mereka memerlukannya untuk melindungi kepala mereka dari sinar Matahari," jelas Sofien Rejeb.

Sementara menurut Najmeddine Akkeri, ada kesamaan yang banyak antara Tunisia dan Indonesia. Kedua negara dihuni oleh penduduk mayoritas muslim, namun toleransi antarumat beragama berlangsung baik di mana mayoritas tidak melakukan diskriminasi atas minoritas. Tunisia kini berpenduduk 10.777.500 jiwa dengan mayoritas (98%) beragama Islam beraliran Sunni, sementara sisanya beragama Kristen dan Yahudi.

"Kendati kami mayoritas Muslim, tapi negara kami punya menteri beragama Yahudi. Kaum Yahudi dari berbagai penjuru dunia juga datang ke Tunisia untuk melakukan ritual keagamaan, sebagaimana seluruh umat Islam dunia datang ke Makkah," jelas Najmeddine Akkeri.

Merespons kekaguman pimpinan media massa Tunisia itu, Ahmad Basarah juga mengapresiasi sikap moderat mayoritas muslim di Tunisia yang menghargai posisi dan peran politik kaum perempuan di berbagai bidang. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Jika Tunisia kini memiliki kepala pemerintahan perempuan bernama Najla Bouden, Indonesia juga pernah dipimpin oleh presiden perempuan pertama, Megawati Soekarnoputri.

Baca: Selly Gantina: Fatwa MUI Terpusat Hambat Sertifikat Halal

Di bagian akhir, kedua pimpinan media massa Tunisia itu mengaku mendengar ada radikalisme dan fanatisme keagamaan di kalangan tertentu di Indonesia, tapi hal itu mereka nilai lumrah. Fanatisme beragama bisa terjadi di negara mana pun.

"Sejauh ini kami menilai Indonesia moderat, salah satunya terlihat dari diakuinya kepemimpinan perempuan. Kondisi yang sama juga terjadi di Tunisia, banyak perempuan kami masuk dalam pemerintahan dan menjadi pemimpin organisasi-organisasi termasuk menjadi pimpinan partai," jelas Sofien Rejeb.

Quote