Jakarta, Gesuri.id - Aktivis Gusdurian, Anita Wahid menceritakan bagaimana kehidupan keluaraga Gus Dur selama masa orde baru (orba).
Rangkaian teror hingga intimidasi sudah menjadi makanan sehari-hari keluarga Gus Dur.
Anita membuka kesaksiannya dengan nada tenang tetapi penuh emosi. Ia menegaskan bahwa tekanan terhadap Gus Dur dan keluarganya bukan sekadar wacana politik, melainkan teror nyata yang menyentuh kehidupan pribadi mereka.
Baca: Ganjar Sebut Kehadiran Megawati Bertemu Presiden Prabowo
“Sebagai anak dari Gus Dur, saya mengalami sendiri bagaimana hidup di bawah tekanan dan ketakutan di masa Soeharto,” kata dalam diskusi berjudul "Menolak Soeharto Jadi Pahlawan" yang disiarkan di kanal Gerpol TV di YouTube.
Setiap hari, tepatnya sekitar jam tiga atau jam lima sore, telepon rumah kami selalu berdering. Dari seberang sana, seorang lelaki dengan suara keras berkata: ‘Bilang bapakmu diam, atau nanti kamu akan saya kirimkan hadiah besar. Isinya kepala bapakmu,’” tutur Anita.
Selain itu Anita menekankan ancaman mengerikan itu datang secara rutin.
“Itu bukan kejadian sesekali. Hampir setiap hari telepon itu datang. Bayangkan, saya masih anak-anak waktu itu. Ancaman semacam itu menimbulkan trauma yang dalam,” katanya.
Pengalaman traumatis di masa kecilnya itulah yang menjadi salah satu alasan fundamental baginya untuk menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. “Bagaimana mungkin seseorang yang menebarkan ketakutan, yang menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik, sekarang hendak disebut pahlawan nasional? Itu bentuk pengkhianatan terhadap ingatan para korban,” tegasnya.
Baca: Ganjar Tekankan Kepemimpinan Strategis
Anita menilai bahwa melupakan kekerasan dan ketakutan yang ditanamkan rezim Orde Baru sama saja dengan menghapus penderitaan banyak orang.
“Kita tidak boleh lupa. Ada banyak keluarga seperti kami yang menjadi korban. Kalau hari ini kita diam saja, itu artinya kita membenarkan cara-cara itu,” pungkasnya.
Kesaksian Anita Wahid ini menjadi pengingat publik bahwa di balik narasi pembangunan dan stabilitas, terdapat sisi gelap kekuasaan Soeharto yang menindas, membungkam, dan menebar teror hingga ke ranah keluarga, bahkan terhadap anak-anak
















































































