Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi ll DPR RI, Aria Bima, menegaskan pentingnya Museum Radya Pustaka sebagai simbol penghormatan terhadap ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah membimbing peradaban bangsa sejak masa lampau.
Ia menyebut museum ini bukan sekadar tempat penyimpanan naskah, tetapi juga representasi kesadaran intelektual bangsa Indonesia.
“Dalam bahasa lama, radia berarti yang dimuliakan. Dan pustaka berarti naskah tertulis, simbol ilmu pengetahuan,” kata Aria Bima, dikutip pada Sabtu (8/11/2025).
“Maka radia pustaka bukan sekedar nama, melainkan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan yang melahirkan kebijaksanaan,” lanjutnya.
Menurut Aria Bima, kebijaksanaan yang lahir dari ilmu pengetahuan itulah yang sesungguhnya memuliakan kehidupan manusia.
“Dan kebijaksanaan inilah yang memuliakan kehidupan. Untuk itulah peran radia pustaka menjadi sangat penting,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa peran museum tersebut tidak berhenti pada fungsi arsip atau pelestarian benda bersejarah semata.
“Bukan hanya sebagai tempat menyimpan naskah, tetapi juga sebagai penanda bahwa peradaban kita telah lama dibimbing oleh pengetahuan,” jelasnya.
Aria Bima juga mengingatkan bahwa perjalanan sejarah bangsa ini tidak dibangun oleh kekuatan mistis atau perang, melainkan oleh kekuatan akal dan kebijaksanaan.
“Bukan oleh hal-hal yang mistis, bukan pula oleh kekuatan perang, melainkan oleh kesadaran akal, rasa, dan kebijaksanaan yang tumbuh dari pengetahuan itu sendiri,” tuturnya.
Ia kemudian menjelaskan asal-usul berdirinya Museum Radya Pustaka sebagai bagian dari tonggak sejarah intelektual bangsa.
“Didirikan pada 28 Oktober 1890, atas perakasa Ateh Sosodiningrat keempat bersama kaum cerdikawan Surakarta,” ungkapnya.
“Museum ini menjadi penanda bahwa Solo pernah menjadi pusat kebudayaan modern di Nusantara,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menggambarkan betapa istimewanya posisi Radya Pustaka dalam sejarah nasional.
“Bayangkan, saat itu hanya Batavia dan Surakarta yang punya museum. Dan radia pustaka adalah yang pertama didirikan oleh kaum Bumi Putra, anak negeri sendiri,” jelasnya.
Ia juga menuturkan perjalanan fisik museum ini sejak awal berdirinya hingga kini. “Awalnya museum ini menempati ruang dikepatiat. Lalu pada tahun 1913 koleksinya dipindahkan ke Logi Katipolo,” ujarnya.
“Milih seorang Belanda namanya Johannes Busselaar, yang kini kita kenal di Jalan Selamat Riyadi. Letaknya bersebelahan dengan Taman Sriwedari, Taman Hiburan Rakyat, dan panggung wayang orang yang legendaris,” pungkasnya.

















































































