Ikuti Kami

Desak Regulasi Pro Industri Lokal, Novita Hardini: Industri Tekstil Kita Tertekan Impor dan Biaya Produksi Tinggi

Kalau kita diam dan bergerak lambat, berapa banyak lagi industri dalam negeri yang akan gulung tikar? Di balik itu semua ada ribuan PHK.

Desak Regulasi Pro Industri Lokal, Novita Hardini: Industri Tekstil Kita Tertekan Impor dan Biaya Produksi Tinggi
Novita Hardini, Anggota DPR RI Komisi VII

Bandung, Gesuri.id – Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menegaskan pentingnya langkah cepat dan konkret untuk menyelamatkan industri tekstil nasional dari ancaman keruntuhan akibat derasnya arus impor dan minimnya perhatian terhadap isu lingkungan. Hal ini ia sampaikan saat kunjungan kerja spesifik Komisi VII ke Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung, Jawa Barat, Senin (21/7/2025).


Dalam kunjungan tersebut,  politisi fraksi PDI Perjuangan itu menyebutkan bahwa biaya produksi yang tinggi, mahalnya bahan baku, serta minimnya pengelolaan limbah menjadi masalah serius yang membelit sektor tekstil nasional. Bahkan, menurut data BPS tahun 2024, Indonesia masih mengimpor tekstil dari Tiongkok sebesar 2,19 juta ton atau setara 8,94 miliar USD.

“Kalau kita diam dan bergerak lambat, berapa banyak lagi industri dalam negeri yang akan gulung tikar? Di balik itu semua ada ribuan tenaga kerja yang terdampak. Kita tidak boleh membiarkan bangsa ini dijajah kembali, kali ini lewat sektor tekstil,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ia juga menyoroti rendahnya proporsi industri hijau di Indonesia, yang saat ini baru mencapai sekitar 35 persen. Legislator asal Trenggalek itu menilai bahwa investasi untuk pengolahan limbah tekstil dari level rumah tangga hingga industri besar masih sangat minim dan harus menjadi perhatian utama pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat.

“Masalah limbah industri harus ditangani dari hulu ke hilir. Bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kelangsungan lingkungan hidup kita. Industri yang besar harus diimbangi dengan tanggung jawab ekologis,” katanya.

Ia pun mendesak Kementerian Perindustrian agar lebih sigap dalam menangani permasalahan tekstil nasional, mulai dari keterbatasan bahan baku hingga regulasi yang berpihak pada pelaku industri lokal. Menurutnya, ekosistem industri hijau bukan sekadar tren global, tetapi menjadi penentu masa depan ekonomi nasional.

“Kita butuh regulasi kuat dan insentif nyata bagi daerah-daerah yang aktif membangun industri ramah lingkungan. Sertifikasi hijau harus diperluas, dan teknologi pengolahan limbah harus mendapat dukungan maksimal dari negara,” tegasnya.

Sebagai satu-satunya legislator perempuan dari Dapil VII Jawa Timur, Ia beserta komisi VII DPR RI berkomitmen untuk terus mendorong legislatif, eksekutif, dan dunia industri agar bersama-sama mendorong transformasi tekstil Indonesia menjadi industri hijau yang berkualitas dan kompetitif di pasar global.

Quote