Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, menanggapi laporan adanya pungutan liar sebesar Rp500 ribu yang diduga dilakukan oleh sebuah komunitas fotografer terhadap pengunjung Tebet Eco Park.
Bang Kent -sapaan akrab Hardiyanto Kenneth- menilai tindakan itu sebagai bentuk penyalahgunaan ruang publik yang mencederai tujuan awal pembangunan taman terbuka tersebut.
"Saya menyikapi serius terkait adanya laporan pungutan liar sebesar Rp500 ribu yang diduga dilakukan oleh sebuah komunitas fotografer terhadap pengunjung Tebet Eco Park. Jika benar terjadi, ini merupakan bentuk penyalahgunaan ruang publik dan mencederai semangat awal taman tersebut, yaitu ruang terbuka hijau yang inklusif, gratis, dan bisa diakses semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi," tegas Kent dalam keterangannya, Rabu (23/10).
Baca: Ganjar Tekankan Kepemimpinan Strategis
Anggota Komisi C DPRD Jakarta itu mengingatkan, bahwa Tebet Eco Park dibangun menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang di himpun dari uang pajak masyarakat Jakarta, sehingga seluruh fasilitas di dalamnya adalah hak publik yang tidak boleh dikomersialisasi oleh pihak mana pun tanpa izin resmi.
"Harus di pahami bahwa Tebet Eco Park ini dibangun dari uang pajak masyarakat Jakarta. Tidak boleh ada individu, kelompok, atau komunitas mana pun yang mengkomersialkan area taman secara sepihak. Pungutan seperti ini bisa menimbulkan kesan bahwa ruang publik hanya untuk mereka yang mampu membayar, padahal prinsipnya adalah keadilan akses untuk semua," ujarnya.
Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu juga menyoroti lemahnya pengawasan dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) serta Unit Pengelola Kawasan Tebet Eco Park. Menurutnya, kegiatan berbau komersial seharusnya diawasi ketat agar tidak menimbulkan praktik pungutan liar seperti ini.
"Komunitas fotografer tentu boleh berkegiatan, tapi mereka tidak memiliki kewenangan untuk menarik pungutan dari pengunjung. Apalagi dengan nominal sebesar itu dan tanpa dasar aturan yang jelas," katanya.
Karena itu, Kent mendesak Pemprov DKI Jakarta melalui Distamhut dan Pemerintah Kota Jakarta Selatan untuk melakukan investigasi mendalam terhadap dugaan praktik pungutan liar tersebut.
"Pemprov DKI melalui Distamhut beserta Pemerintah Kota Jakarta Selatan dalam hal ini bisa melalui Camat atau Lurah harus menelusuri secara mendalam apakah benar ada pungutan liar ini, siapa yang terlibat, dan bagaimana mereka bisa beroperasi di ruang publik tanpa adanya pengawasan. Jika terbukti, harus ada sanksi tegas, baik administratif maupun hukum, supaya hal serupa tidak terulang kemudian hari di taman-taman lain yang terdapat di DKI Jakarta," tegasnya.
Minta Penataan Ulang Aturan Aktivitas Komersial
Lebih lanjut, Ia meminta Pemprov DKI untuk menata ulang mekanisme perizinan aktivitas fotografi komersial di ruang publik, agar jelas batas antara kegiatan profesional dan kegiatan rekreasi warga.
"Warga yang hanya ingin berfoto pribadi atau bersama keluarga tidak boleh dipungut biaya. Kalau memang ada kegiatan komersial berskala besar, perizinannya harus resmi, transparan, dan atau misalnya ada retribusinya, harus diatur oleh pemerintah, bukan komunitas," sambungnya.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Demokrasi Harus Dirawat Dengan Baik!
Kent menegaskan, bahwa pungutan liar di ruang publik bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mencoreng citra Pemprov DKI yang tengah berupaya menjadikan Jakarta sebagai kota ramah, inklusif dan berkeadilan sosial.
"Jakarta tidak boleh menjadi kota di mana ruang publik bisa dikomersialisasi oleh segelintir pihak. Tebet Eco Park dan semua taman-taman atau fasilitas umum di DKI Jakarta harus tetap bisa menjadi ruang hidup bersama, tempat warga berinteraksi dan beristirahat tanpa takut dipungut biaya oleh siapa pun," pungkasnya.
Perlu diketahui sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan, bahwa ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta, termasuk Tebet Eco Park, bebas digunakan masyarakat untuk berbagai aktivitas, termasuk kegiatan fotografi.
Hal ini disampaikan Pramono menanggapi kabar adanya pungutan sebesar Rp500 ribu yang disebut diminta oleh sebuah komunitas fotografer kepada pengunjung yang ingin melakukan sesi foto di kawasan tersebut.
Ia menegaskan, taman kota merupakan ruang publik yang tidak boleh dimanfaatkan untuk pungutan liar (pungli), terutama terhadap aktivitas nonkomersial.