Ikuti Kami

Safaruddin Kritik Pemprov Sumsel, Tegaskan Hak Rakyat Tak Boleh Dikorbankan dalam Sengketa Tanah

Usulan saya, di samping kejaksaan tinggi, Pemprov ini juga harus dipanggil. Karena justru biang keroknya ada di pemerintah provinsi

Safaruddin Kritik Pemprov Sumsel, Tegaskan Hak Rakyat Tak Boleh Dikorbankan dalam Sengketa Tanah
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Safaruddin - Foto: Istimewa

Jakarta, Gesuri.id – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Safaruddin, menegaskan bahwa pemerintah provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan harus ikut bertanggung jawab dalam polemik sengketa tanah yang menimpa keluarga ahli waris Ivonne dan Novriyadi.

Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III bersama tim kuasa hukum Vera Soemarwi, ahli waris, serta Tim Kuasa Hukum DPP Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN), di Gedung DPR RI, Rabu (1/10).

Menurut Safaruddin, Pemprov Sumsel justru menjadi salah satu pihak yang memicu masalah karena memberikan hibah tanah kepada kejaksaan padahal status kepemilikan tanah tersebut masih bermasalah.

“Usulan saya, di samping kejaksaan tinggi, Pemprov ini juga harus dipanggil. Karena justru biang keroknya ada di pemerintah provinsi yang memberikan hibah tanah padahal statusnya belum jelas. Bagaimana bisa sebuah aset diserahkan kalau masih bersengketa?” tegas Safaruddin.

Ia menambahkan, aparat negara seperti kepolisian maupun kejaksaan tidak semestinya membangun fasilitas apapun di atas lahan yang belum jelas sertifikat dan status hukumnya. Menurutnya, sebelum ada kejelasan, tidak boleh ada pembangunan yang dilakukan dengan menggunakan dana negara.

“Sebetulnya aparat pemerintah, seperti Polri maupun kejaksaan, kalau mau membangun sesuatu harus jelas sertifikat tanahnya. Dana tidak boleh turun sebelum jelas kepemilikan. Faktanya, di Sumsel ini statusnya bermasalah, jadi memang tidak boleh dibangun dulu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Safaruddin juga menyoroti persoalan lain terkait perkebunan sawit dan hak masyarakat plasma yang kerap menimbulkan konflik di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan. Ia menekankan bahwa hak-hak masyarakat, khususnya petani plasma, tidak boleh dikorbankan oleh kepentingan perusahaan maupun oknum yang bermain di dalamnya.

“Sering kali persoalan muncul karena luas lahan plasma yang tidak sesuai atau dikurangi. Bahkan ada orang dalam perusahaan ikut bermain, mengurangi jatah plasma, atau justru ada masyarakat yang menambah lahan dari luar. Ini harus diteliti betul dan dicarikan solusinya,” kata Safaruddin.

Ia menilai, penyelesaian masalah plasma sawit harus transparan, dengan keterlibatan semua pihak: pemerintah, perusahaan, kepolisian, hingga masyarakat. Ia juga mendorong agar aparat kepolisian di Ketapang dan Polda Kalbar memfasilitasi mediasi sehingga semua pihak mendapat kepastian hukum.

“Yang utama adalah hak-hak masyarakat tidak boleh dirugikan. Dalam kasus plasma perkebunan sawit, masyarakat harus mendapatkan keadilan. Itu yang menjadi prioritas,” pungkas Safaruddin.

Quote