Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menanggapi keputusan Presiden Prabowo Subianto yang resmi memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025.
Ia menyebut keputusan tersebut mengejutkan dan menimbulkan pro dan kontra di tengah publik.
Menurutnya, pemberlakuan hak prerogatif Presiden ini dinilai sarat kepentingan politik dan mencederai sistem penegakan hukum. Namun demikian, ia juga melihat adanya pandangan positif yang menilai Presiden berjiwa besar karena mendengarkan aspirasi masyarakat.
“Dua bentuk pengampunan hukum ini seringkali menjadi perbincangan publik karena menyentuh ranah penegakan hukum dan keadilan,” kata Wayan, pada Sabtu (2/8/2025).
Wayan menjelaskan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memang memiliki sejumlah kewenangan konstitusional, termasuk hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
"Tentunya, menarik untuk dapat dikaji atau analisa tentang bagaimana framework yuridis terhadap penggunaan kewenangan atau hak tersebut," jelas Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Bali ini.
Ia menambahkan bahwa abolisi dan amnesti diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, di mana Ayat (1) menyebut Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah Agung (MA), sementara Ayat (2) menyatakan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.
"Abolisi dan amnesti beda dari grasi. Amnesti dan abolisi bersifat kolektif bisa bernuansa politik, sehingga pertimbangan DPR bersifat wajib bentuk kontrol demokratis terhadap kekuasaan eksekutif," ujarnya.
Lebih lanjut, Wayan juga merujuk pada Putusan MK Nomor 7/PUU-IV/2006 yang menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi bukan tindakan administratif semata, melainkan tindakan hukum bersifat konstitusional yang wajib memperhatikan prinsip checks and balances.
“Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang absolut, termasuk hak prerogatif Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol oleh DPR bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari prinsip konstitusionalisme,” imbuhnya.
Secara yuridis, menurut Wayan, hak prerogatif Presiden atas amnesti dan abolisi merupakan pengejawantahan fungsi Presiden sebagai kepala negara, dan dapat menjadi alat korektif dalam sistem peradilan pidana bila terjadi ketimpangan hukum atau pertimbangan kemanusiaan.
"Namun, dalam praktiknya pemberian amnesti dan abolisi tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, pertimbangan dari DPR menjadi instrumen penting dalam menjaga akuntabilitas Presiden," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa dengan pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, maka semua proses hukum terhadap keduanya dihentikan dan mereka harus dilepaskan atau dibebaskan.
"Selanjutnya, banyak pihak mulai mencoba untuk mengkaji apakah abolisi dan amnesti itu memang dapat atau layak diberikan. Apakah pemberian tersebut berafiliasi dengan kepentingan politis," ucapnya.
Menurutnya, untuk memberikan keseimbangan dan objektivitas, maka pemberian amnesti dan abolisi harus melalui pertimbangan DPR. Presiden pun, kata dia, harus mampu menjelaskan alasan yuridis di balik keputusan tersebut.
"Amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk meluruskan, jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan," tuturnya.
Ia menutup keterangannya dengan menegaskan pentingnya semangat restoratif dalam sistem hukum Indonesia.
"Selain itu, semangat dalam merestorasi atau mewujudkan keadilan yang restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif dapat diwujudkan dalam mekanisme atau tindakan hukum yang luar biasa," pungkasnya.